lagu

ikut

Wednesday, December 30, 2015

Artikel Tembang Dolanan sebagai Salah Satu Wujud Peradaban Islam di Jawa



Tembang Dolanan sebagai Salah Satu Wujud Peradaban Islam di Jawa
ARTIKEL
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Bpk. Manijo







Disusun Oleh:
Kafia Ansori   (1410210019)



 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH  /  PENDIDIKAN BAHASA ARAB
TAHUN 2015




Tembang Dolanan sebagai Salah Satu Wujud Peradaban Islam di Jawa

Agama Islam mulai berkembang di Jawa kurang lebih pada abad 14 yang disebarluaskan oleh wali songo.Wali Songo adalah sebutan bagi para muballigh yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Mereka Semuanya adalah pedatang dari luar nusantara kecuali sunan Kalijaga.
Dalam menyebarkan Islam, wali songo mempunyai strategi khusus dalam berdakwah. Hal ini dikarenakan para sunan hanya memiliki dua pilihan dalam menyebarkan agama Islam, yaitu : menanamkan Islam pada masyarakat dengan menghilangkan semua kebudayaan yang sudah ada atau mengkolaborasikan dua kebudayaan yang berbeda. Para sunan tidak menggunakan kekerasan dalam berdakwah sebagaimana jihad atau memerangi para pembangkang.
Salah satu trateginya dengan melakukan pendekatan kebudayaan sehingga lahirlah berbagai kebudayaan yang menjadi khas di Jawa. Termasuk didalamnya tembang-tembang dholanan yang sering dinyanyikan anak-anak. Tembang-tembang yang sering dilantunkan seperti sluku-sluku bathok, lir ilir, gundul-gundul pacul, dll merupakan materi dan media yang digunakan para sunan untuk menyebarkan agama Islam.
Tembang-tembang tersebut tidak semata-mata dibuat untuk hiburan, melainkan didalamnya terkandung makna-makna kehidupan yang religious. Itu sebabnya masyarakat Jawa sangat mudah menerima Islam sebagai pegangan hidup mereka. Anak-anak yang sering melantuntan tembang yang diajarkan para wali secara tidak langsung mereka mempelajari Islam dan mereka merasa senang dan bahagia. Para orang tuapun juga tertarik dengan tembang-tembang ciptaan sunan, sehingga Islam sangat mudah berkembang pesat di Jawa. Dakwah Islam kepada masyarakat dikemas secara indah dalam sebuah tembang yang enak didengar. Inilah yang menjadikan Islam dapat berkembang lebih cepat daripada di tanah Sumatra ataupun lainnya.



Adapun makna religious yang terkandung dalam tembang-tembang dholanan antara lain :
1.      Gundul gundul pacul
Gundul gundul pacul cul, gemblelengan
Nyunggi nyunggi wakul kul, gemblelengan
Wakul glimpang segane dadi sak latar 2x
Tembang Jawa diatas, konon diciptakan tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja. Tembang tersebut tak hanya tembang mainan, akan tetapi mempunyai arti filosofis yg dalam dan sangat mulia.
Gundul adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka gundul artinya kehormatan yang tanpa mahkota. Sedangkan pacul adalah cangkul, yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul adalah lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani. Gundul pacul artinya: bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas). Artinya bahwa: kemuliaan seseorang akan sangat tergantung 4 hal, yaitu: bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.
1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.
2.Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
4. Mulut digunakan untuk berkata- kata yang adil.
Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya. Gembelengan artinya: besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.
GUNDUL2 PACUL CUL artinya orang yang dikepalanya sdh kehilangan 4 indera tersebut yang mengakibatkan sikap berubah jadi GEMBELENGAN (= congkak).
NYUNGGI2 WAKUL KUL (menjunjung amanah rakyat) selalu sambil GEMBELENGAN (= sombong hati), akhirnya WAKUL NGGLIMPANG (amanah jatuh gak bisa dipertahankan) SEGANE DADI SAK LATAR (berantakan sia2, tak bisa bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat)
2.      Cublak-cublak suweng
Masih ingat dolanan saat kita masih kecil dan biasanya dilakukan pas terang bulan ini? Beberapa anak ikut bermain, satu anak duduk telungkup seperti posisi sujud dan memejamkan matanya sementara anak-anak lainnya duduk mengitarinya lalu tangan anak-anak tersebut dalam posisi menengadah menunggu giliran sebuah batu kerikil yang nanti akan jatuh dalam salah satu genggaman tangan seorang anak. Sambil menggilir batu tsb anak-anak menyanyikan lagu ini :
Cublak-cublak suweng
Suwenge ting gelenter
Mambu ketundung gudhel
Pak gempo lerak-lerek
Sopo ngguyu ndelekakhe
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Selesai menyanyi lagu itu, anak yang telungkup bangun dan disuruh menebak siapa yang menggenggam batu tsb. Si anak yang telungkup bila salah menebak maka dia akan disuruh telungkup lagi dalam fase permainan berikutnya.
Permainan ini pastilah sudah lama kita tinggalkan. Namun tanpa kita sadari sampai kita dewasa pun kita masih melakukan ’permainan’ ini. Dalam kehidupan sehari-hari. Permainan anak-anak yang akrab bagi masyarakat Jawa ini ternyata mengandung banyak makna dan mengajarkan kehidupan sedari kecil. Konon (katanya) permainan ini awalnya dikenalkan oleh Walisongo.
Permainan ini memang mengajari tentang pencarian harta dalam hidup. Dari lirik lagunya ”cublak-cublak suweng” …suweng artinya hiasan di telinga, lebih berharga daripada anting…identik dengan harta. Bisa diartikan ayolah ”tebak tempat menyimpan harta”
”Suwenge ting gelenter” maksudnya hartanya tersebar dimana-mana. Hal ini terlihat pula dalam permainannya dimana anak-anak menyembunyikan batu kerikil (diibaratkan suweng) lalu beredar dari satu tangan ke tangan yang lain (”suwenge ting gelenter”)
”Mambu ketundung gudhel” = mambu artinya tercium, ketundung artinya yang dituju, sedangkan gudhel artinya anak kerbau….mengapa anak kerbau, bukan kerbaunya? Anak kerbau identik dengan kebodohan(karena masih berwujud anak, yang belum matang alias belum tahu apa-apa). Secara garis besar kabar tentang tempat harta ini mudah tercium (tersiar) oleh orang-orang bodoh.

”Pak Gempo lerak-lerek” = Pak Gempo melirik-lirik (mencarinya). Pak Gempo digambarkan sebagai kebalikan dari gudhel yang masih berwujud anak. Makanya menggunakan kata awalan ’Pak’. Pak Gempo adalah sosok manusia yang telah dewasa dan berusaha mencari harta (’suweng’) tsb. Pak Gempo diwujudkan sebagai manusia yang berakal, beda dengan ’gudhel’ yang hanya anak hewan yang identik dengan kebodohan. Sehingga dianggap Pak Gempo bisa mencari harta tsb. Dalam permainan wujud Pak Gempo adalah anak yang bermainan dalam posisi sujud dan akhirnya dia harus menebak siapa yang menyimpan batu kerikil tsb.
”Sopo ngguyu ndelekakhe” = Siapa yang tertawa pasti menyembunyikan. Di permainannya kita tahu bahwa anak-anak yang lain (yang tidak telungkup) pasti tertawa saat anak yang telungkup berusaha menebak siapa yang menyimpan batu kerikilnya.
” Sir-sir pong dele kopong” = di dalam hati nurani yang kosong. Suatu petunjuk bagi yang ingin mencari harta/menebak di permainan bahwa untuk mencari pelakunya gunakanlah hati nurani.
Bisa ditafsirkan secara garis besar makna dari lagu dan permainan ini adalah sebagai berikut:
Kita sebagai manusia biasa yang tercipta dari tanah. Makanya dalam permainan seorang anak harus telungkup mencium tanah seolah sedang sujud. Hanya manusia biasa yang tak tak tahu apa-apa. Namun manusia tetap ada hasrat nafsu sebagaimana nabi Adam dikeluarkan dari surga karena mencium wanita. Manusia mempunyai hasrat nafsu harta, tahta dan wanita.
Dalam lagu daerah ini manusia tetap memenuhi hasratnya untuk mencari harta (”cublak-cublak suweng”). Namun harta tercecer dimana-mana dan semua orang pasti menginginkannya. Begitu mudahnya tercium ’bau’ harta sampai orang tak berilmu pun tahu, kita tahu bahwa setiap hari ada maling, copet, koruptor yang mengincar harta. Cara terbaik untuk mencari harta adalah dengan hati nurani yang bersih. Tidak dipengaruhi hawa nafsu dsb. Dengan hati nurani akan lebih mudah menemukannya, tidak tersesat.
Kemungkinan maksud Walisongo mempopulerkan permainan rakyat ini untuk menanamkan hati nurani yang ikhlas bila kita hendak mencari harta. Kembali kepada nilai-nilai islami, seperti sedekah untuk mencari harta yang banyak bukan dengan jalan pintas (korupsi). Harta yang dicari dengan jalan cepat akan hilang dalam waktu cepat pula.
Itulah sebagian kecil peradaban Islam yang ada di Jawa dan masih banyak peradaban Islam yang tersebar di tanah Jawa. Kita sebagai seorang Muslim minimal kita mengenali sekilas peradaban yang telah dibentuk oleh para pejuang Islam sebelum kita. Semoga Tuhan selalu merahmati kita.
DAFTAR PUSTAKA
♦ Djaka Lodang, 5 Agustus 1989, GBHN 1993. Surakarta PT Pabelan.
♦ Suwarna & Suwardi. 1996. Integrasi Pendidikan Budi Pekerti dalam
   buku Teks ‘Tataran Wulang Basa Jawa kanggo SD. Laporan
   Penelitian.Yogyakarta: Lemlit,IKIP
♦ Widyatmanta, Siman. (2002), Berbahasa Jawa : Untuk Pelayanan
   Gerejawi dan Masyarakat, Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen

0 comments:

Post a Comment

Keluarga

Keluarga
Jejak Ora Normal

keluarga

keluarga
Je Ow En