Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata
kuliah : Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu: Drs. Thoifuri, M.Ag
Disusun Oleh:
M. Abdurochman Luthfi (1410210029)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH (PBA-A)
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Peradaban
yang modern menghasilkan kehidupan baru yang maju berkat ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tetapi di pihak lain juga mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan
yang besar karna penyalahgunaan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk pemenuhan nafsu pribadi. Pada dasarnya masyarakat menginginkan
perubahan dari keadaan tertentu kearah yang lebih baik dengan harapan akan
tercapai kehidupan yang lebih maju dan makmur. Namun sering orang-orang
terjebak ke dalam kemajuan-kemajuan tersebut, sehingga orangpun kehilangan jati
diri dan terlantarnya kebutuhan sepiritual sehingga mereka tidak tahu posisi
dan hubunganya dengan pencipta alam semesta ini. Maka keberadaan tasawuf
sebagai refleksi pendekatan diri kepada sang pencipta
semakin dibutuhkan dalam masyarakat modern seperti sekarang ini.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah
yang kami ambil adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
kehidupan masyarakat modern ?
2.
Bagaimanakah
ciri-ciri masyarakat modern ?
3.
Bagaimanakah
peranan tasawuf dalam kehidupan modern ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kehidupan Masyarakat Modern
Masyarakat
modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengartikan masyarakat sebagai
pergaulan hidup manusia (himpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat
dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu). Sedangkan modern diartikan yang
terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan demikian secara harfiah masyarakat
modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat dengan
ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.[1]
Masyarakat
modern ialah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler.[2]
Pandangan dunia sekuler, hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara
signifikan menyingkirkan mereka dari segala aspek spiritualitas. Akibatnya
mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik,
yang diyakini adanya oleh para sufi. Mereka menolak segala dunia nonfisik
seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan segala
realitas-realitas yang lebih tinggi daripada entitas-entitas fisik. Bagi
mereka, kehidupan dimulai di dunia ini dan berakhir juga di dunia ini, tanpa
tahu dari mana ia berasal dan hendak kemana setelah ini ia pergi. Akibatnya,
mereka hanya berkutat di satu dunia ini saja, seakan mereka tidak pernah punya
asal dan tempat kembali.[3]
Keterputusan
spiritual yang seperti itu membuat manusia modern juga kehilangan kontak mereka
dengan Tuhan, sumber dari segala yang ada. Sementara bagi para sufi, Tuhan
adalah Alfa dan Omega, Asal dan Tempat Kembali. Bagi banyak orang modern Tuhan
hanyalah dipandang sebagai penghalang bagi penyelenggaraan diri mereka, dan
kebebasan yang menyertainya.[4]
Akibat dari keterputusan ini, manusia modern mengalami gelisah dan sebangsanya,
karena mereka tidak lagi mengarahkan jiwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
menjadi sumber ketauhidan manusia tetapi bertumpu kepada beraneka benda-benda
fisik, yang selalu timbul tenggelam, oleh karena itu benda-benda tersebut tidak
pernah memberi kepuasan dan ketenangan kepada mereka.
Dan dengan
berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan teknologi (iptek) ini juga akan berbahaya
jika berada ditangan orang yang secara mental dan keyakinan agamanya belum
siap. Mereka dapat menyalahgunakan teknologi untuk tujuan-tujuan yang
mengkhawatirkan. Mereka belum memahami bahwa iptek juga merupakan sumber dari
berbagai ilmu pengetahuan yang bersifat positif yang bisa mereka manfaatkan isinya.
Husen Nasr
(seorang ulama Iran) menyatakan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewa-dewakan
ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan mereka berada dalam wilayah pinggiran
eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama
yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan, hidup dalam keadaan sekuler.
Masyarakat yang demikian adalah masyarakat barat yang dikatakan the post
industrial society telah kehilangan visi keilahian. Masyarakat yang
demikian ini telah tumpul penglihatan intelectusnya dalam melihat realitas
hidup dan kehidupan.[5]
B. Ciri-ciri Masyarakat Modern
‘Ata Muzhar, menyatakan bahwa masyarakat
modern ditandai oleh lima hal, yakni[6]:
1)
Berkembangnya
mass culture karena pengaruh kemajuan mass media sehingga kultur tidak
lagi bersifat local, melainkan nasional dan bahkan global.
2)
Tumbuhnya
sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak manusia menuju perubahan
masa depan. Dengan demikian alam dapat ditaklukkan, manusia merasa lebih
leluasa kalau bukan merasa lebih berkuasa.
3)
Tumbuhnya
berfikir rasional, sebagian besar kehidupan umat manusia ini semakin diatur
oleh aturan-aturan rasional.
4)
Tumbuhnya
sikap hidup yang materialistik, artinya semua hal diukur oleh nilain kebendaan
dan ekonomi.
5)
Meningkatnya
laju urbanisasi.
Dikemukakan
oleh Harvey Cox dalam bukunya The Secular City, ciri-ciri masyarakat
modern adalah sebagai berikut[7]:
1)
Hubungan
antara anggota masyarakat tidak lagi atas dasar atau prinsip tradisi atau
persaudaraan, tetapi banyak dilandasi oleh prinsip-prinsip fungsional
pragmatis. Masyarakatnya merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan
pandangan dunia metafisis.
2)
Desacraliuzation
of the world (penghilangan
nilai-nilai sakral terhadap dunia).
3)
The
historiztion of human life (meletakkan
hidup manusia dalam kontek kenyataan sejarah).
4)
The
relativization of meaning (penisbian
nilai-nilai).
Masyarakat
modern yang mengandung ciri-ciri menurut Harvey Cox tersebut, ternyata
menyimpan problema hidup yang sulit untuk dipecahkan. Rasionalisme,
sekularisme, materialisme, dan lain sebagainya teryata tidak menambah
kebahagiaan dan ketentraman hidup, akan tetapi sebaliknya, semakin menimbulkan
kegelisahan hidup.[8]
C. Peranan Tasawuf dalam Kehidupan
Modern
Dapatkah Tasawuf
memberikan petunjuk arah bagi manusia yang mengalami krisis spiritual tersebut?
Jawabnya, mungkin saja. Ketika manusia modern telah kehilangan identitas
dirinya, maka tasawuf dapat memberikan pengertian yang telah konfrehensif
tentang siapa manusia itu sesungguhnya. Dari ajaran para sufi misalnya, kita
jadi paham bahwa manusia itu bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga makhluk
spiritual, yang memiliki asal-usul spiritualnya dari Tuhan. Dengan menyadari
bahwa manusia itu juga merupakan makhluk spiritual, disamping fisiknya, maka
lebih mungkin manusia akan bertindak lebih bijak dan seimbang dalam bertindak
dan memperlakukan diri. Selain itu, dengan mengetahui asal-usul manusia
tersebut, baik asal-usul fisik maupun spiritual, maka manusia dapat mengarahkan
dirinya secara proporsional, baik untuk kesejahteraan hidup maupun untuk
kesejahteraan di akhirat kelak.
Tasawuf juga
mengajarkan kepada manusia bahwa alam bukanlah realitas independen yang tidak
punya kaitan apa pun dengan realitas-realitas yang lebih tinggi, seperti
malaikat atau bahkan Tuhan. Bagi para sufi, alam memiliki banyak fungsi yang
berkaitan dengan realitas-realitas tinggi tersebut. Betapa tidak, bagi mereka
alam adalah ayat (tanda-tanda) bagi keberadaan dan keagungan penciptanya. Oleh
karena itu, bagi mereka para sufi menganggap alam merupakan tanda-tanda ilahi,
yang dapat mengenalkan manusia dengan Tuhannya. Menurutnya pula, melalui
alamlah Tuhan mengekspresikan kasih sayang-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya yang
di dunia ini. [9]
Intisari
pembelajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari
dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di
hadirat-Nya. Dengan upaya ini manusia modern dapat melepaskan diri dari jeratan
dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara ini. Kemampuan berhubungan
dengan Tuhan dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang nampak
berserakan. Karena melalui tasawuf ini manusia disadarkan bahwa sumber segala
yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam paham wahdatul wujud, alam
dan manusia yang menjadi obyek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah
baying-bayang atau fotocopy Tuhan. Dengan cara demikian antara satu ilmu dengan
ilmu lainnya akan saling mengarah pada Tuhan. Di sinilah perlunya ilmu dan
teknologi yang berwawasan moral, yaitu ilmu yang diarahkan oleh nilai-nilai dari
Tuhan.[10]
William James
menegaskan bahwa: “selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap,
selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan). Maksud cemas disini
adalah, cemas jika ilmu yang dimilikinya itu tidak dimanfaatkan sesuai perintah
Tuhan. Dan rasa cemas itu sebagai tanda beragama dan bertuhan. Itulah sebabnya
mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk
beragama.[11]
Dengan adanya
bantuan tasawuf ini maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan,
karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Perasaan beragama yang
didukung oleh ilmu pengetahuan itu juga akan semakin mantap. Hubungan ilmu
dengan ketuhanan yang diajarkan agama jelas sekali. Ilmu mempercepat anda
sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu menyesuaikan manusia
dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu hiasan
lahir dan agama hiasan batin. Ilmu memberikan kekuatan yang menerangi jalan,
dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana” dan agama
menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “mengapa”. Ilmu tidak jarang
mengeluarkan pikiran pemiliknya, sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya
yang tulus.[12]
Selanjutnya
tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi
pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi pekerti yang tajam ini menyebabkan ia
akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang
dihadapi. Dengan cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan
perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama.
Dalam tasawuf
terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa depan manusia,
seperti melakukan introspeksi (muhasabah) baik dalam kaitannya dengan
masalah-masalah vertikal maupunhorisontal, kemudian meluruskan hal-hal yang
kurang baik. Selalu berdzikir (dalam arti yang seluas-luasnya) kepada Allah
SWT. Sebagai Sumber Gerak, Sumber Kenormatifan, Sumber Motivasi dan Sumber
Nilai yang dapat dijadikan acuan hidup. Dengan demikian, seseorang bias selalu
berada di adtas Sunnatullah dan Shirath al-mustaqim.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara
harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama
disuatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Masyarakat
modern ialah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler. Pandangan dunia
sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara signifikan
menyingkirkan mereka dari segala aspek spiritualitas. Bagi mereka, kehidupan
dimulai di dunia ini dan berakhir juga di dunia ini, tanpa tahu dari mana ia
berasal dan hendak kemana setelah ini ia pergi. Akibatnya, mereka hanya
berkutat di satu dunia ini saja, seakan mereka tidak pernah punya asal dan
tempat kembali. Keterputusan spiritual yang seperti itu membuat manusia modern
juga kehilangan kontak mereka dengan Tuhan. Oleh karena itu, Tasawuf memberikan
petunjuk arah bagi manusia yang mengalami krisis spiritual tersebut. Ketika
manusia modern telah kehilangan identitas dirinya, maka tasawuf dapat
memberikan pengertian yang telah konfrehensif tentang siapa manusia itu
sesungguhnya. Dengan upaya ini manusia modern dapat melepaskan diri dari
jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamka. 1990. Tasawuf Modern.
Jakarta: Pustaka Panjimas
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami
Lubuk Tasawuf. Jakarta: Penerbit Erlangga
Nata, Abuddin. 1997. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Syukur, Amin. 1997. Zuhud di Abad
Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syukur, Amin. 2003. Tasawuf
Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[1] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 279
[2] Amin Syukur, Zuhud
di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 177
[3] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami
Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 264
[4] Ibid., hlm. 269
[5] Amin Syukur, Menggugat
Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 112
[6]Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, op.cit.,
hlm. 177
[7] Amin Syukur, Menggugat
Tasawuf, op.cit., hlm. 122
[8] Ibid., hlm.122
[9] Mulyadhi Kartanegara, op.cit.,
hlm. 274
[10] Abuddin Nata, op.cit.,
hlm. 295
[11] Ibid., hlm. 296
[12] M. Quraish Shihab, Wawasan
al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.III, hlm. 376
[13] Amin Syukur, Menggugat
Tasawuf, op.cit., hlm. 114
0 comments:
Post a Comment