lagu

ikut

Monday, December 28, 2015

PERANAN TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN



PERANAN TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MODERN

Makalah

Disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah : Ilmu Tasawuf

Dosen Pengampu: Drs. Thoifuri, M.Ag














Disusun Oleh:



M. Abdurochman Luthfi              (1410210029)






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

JURUSAN TARBIYAH (PBA-A)

2015



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Peradaban yang modern menghasilkan kehidupan baru yang maju berkat ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi di pihak lain juga mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan yang besar karna penyalahgunaan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pemenuhan nafsu pribadi. Pada dasarnya masyarakat menginginkan perubahan dari keadaan tertentu kearah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan yang lebih maju dan makmur. Namun sering orang-orang terjebak ke dalam kemajuan-kemajuan tersebut, sehingga orangpun kehilangan jati diri dan terlantarnya kebutuhan sepiritual sehingga mereka tidak tahu posisi dan hubunganya dengan pencipta alam semesta ini. Maka keberadaan tasawuf sebagai refleksi pendekatan diri kepada sang pencipta semakin dibutuhkan dalam masyarakat modern seperti sekarang ini.



B.       Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang kami ambil adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah kehidupan masyarakat modern ?
2.    Bagaimanakah ciri-ciri masyarakat modern ?
3.    Bagaimanakah peranan tasawuf dalam kehidupan modern ?









BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kehidupan Masyarakat Modern

Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengartikan masyarakat sebagai pergaulan hidup manusia (himpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu). Sedangkan modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan demikian secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.[1]

Masyarakat modern ialah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler.[2] Pandangan dunia sekuler, hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara signifikan menyingkirkan mereka dari segala aspek spiritualitas. Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik, yang diyakini adanya oleh para sufi. Mereka menolak segala dunia nonfisik seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada entitas-entitas fisik. Bagi mereka, kehidupan dimulai di dunia ini dan berakhir juga di dunia ini, tanpa tahu dari mana ia berasal dan hendak kemana setelah ini ia pergi. Akibatnya, mereka hanya berkutat di satu dunia ini saja, seakan mereka tidak pernah punya asal dan tempat kembali.[3]

Keterputusan spiritual yang seperti itu membuat manusia modern juga kehilangan kontak mereka dengan Tuhan, sumber dari segala yang ada. Sementara bagi para sufi, Tuhan adalah Alfa dan Omega, Asal dan Tempat Kembali. Bagi banyak orang modern Tuhan hanyalah dipandang sebagai penghalang bagi penyelenggaraan diri mereka, dan kebebasan yang menyertainya.[4] Akibat dari keterputusan ini, manusia modern mengalami gelisah dan sebangsanya, karena mereka tidak lagi mengarahkan jiwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi sumber ketauhidan manusia tetapi bertumpu kepada beraneka benda-benda fisik, yang selalu timbul tenggelam, oleh karena itu benda-benda tersebut tidak pernah memberi kepuasan dan ketenangan kepada mereka.

Dan dengan berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan teknologi (iptek) ini juga akan berbahaya jika berada ditangan orang yang secara mental dan keyakinan agamanya belum siap. Mereka dapat menyalahgunakan teknologi untuk tujuan-tujuan yang mengkhawatirkan. Mereka belum memahami bahwa iptek juga merupakan sumber dari berbagai ilmu pengetahuan yang bersifat positif yang bisa mereka manfaatkan isinya.

Husen Nasr (seorang ulama Iran) menyatakan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan mereka berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan, hidup dalam keadaan sekuler. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat barat yang dikatakan the post industrial society telah kehilangan visi keilahian. Masyarakat yang demikian ini telah tumpul penglihatan intelectusnya dalam melihat realitas hidup dan kehidupan.[5]

B.  Ciri-ciri Masyarakat Modern

 ‘Ata Muzhar, menyatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh lima hal, yakni[6]:
1)        Berkembangnya mass culture karena pengaruh kemajuan mass media sehingga kultur tidak lagi bersifat local, melainkan nasional dan bahkan global.
2)        Tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak manusia menuju perubahan masa depan. Dengan demikian alam dapat ditaklukkan, manusia merasa lebih leluasa kalau bukan merasa lebih berkuasa.
3)        Tumbuhnya berfikir rasional, sebagian besar kehidupan umat manusia ini semakin diatur oleh aturan-aturan rasional.
4)        Tumbuhnya sikap hidup yang materialistik, artinya semua hal diukur oleh nilain kebendaan dan ekonomi.
5)        Meningkatnya laju urbanisasi.

Dikemukakan oleh Harvey Cox dalam bukunya The Secular City, ciri-ciri masyarakat modern adalah sebagai berikut[7]:
1)        Hubungan antara anggota masyarakat tidak lagi atas dasar atau prinsip tradisi atau persaudaraan, tetapi banyak dilandasi oleh prinsip-prinsip fungsional pragmatis. Masyarakatnya merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis.
2)        Desacraliuzation of the world (penghilangan nilai-nilai sakral terhadap dunia).
3)        The historiztion of human life (meletakkan hidup manusia dalam kontek kenyataan sejarah).
4)        The relativization of meaning (penisbian nilai-nilai).

Masyarakat modern yang mengandung ciri-ciri menurut Harvey Cox tersebut, ternyata menyimpan problema hidup yang sulit untuk dipecahkan. Rasionalisme, sekularisme, materialisme, dan lain sebagainya teryata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidup, akan tetapi sebaliknya, semakin menimbulkan kegelisahan hidup.[8]


C.  Peranan Tasawuf dalam Kehidupan Modern

Dapatkah Tasawuf memberikan petunjuk arah bagi manusia yang mengalami krisis spiritual tersebut? Jawabnya, mungkin saja. Ketika manusia modern telah kehilangan identitas dirinya, maka tasawuf dapat memberikan pengertian yang telah konfrehensif tentang siapa manusia itu sesungguhnya. Dari ajaran para sufi misalnya, kita jadi paham bahwa manusia itu bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga makhluk spiritual, yang memiliki asal-usul spiritualnya dari Tuhan. Dengan menyadari bahwa manusia itu juga merupakan makhluk spiritual, disamping fisiknya, maka lebih mungkin manusia akan bertindak lebih bijak dan seimbang dalam bertindak dan memperlakukan diri. Selain itu, dengan mengetahui asal-usul manusia tersebut, baik asal-usul fisik maupun spiritual, maka manusia dapat mengarahkan dirinya secara proporsional, baik untuk kesejahteraan hidup maupun untuk kesejahteraan di akhirat kelak.

Tasawuf juga mengajarkan kepada manusia bahwa alam bukanlah realitas independen yang tidak punya kaitan apa pun dengan realitas-realitas yang lebih tinggi, seperti malaikat atau bahkan Tuhan. Bagi para sufi, alam memiliki banyak fungsi yang berkaitan dengan realitas-realitas tinggi tersebut. Betapa tidak, bagi mereka alam adalah ayat (tanda-tanda) bagi keberadaan dan keagungan penciptanya. Oleh karena itu, bagi mereka para sufi menganggap alam merupakan tanda-tanda ilahi, yang dapat mengenalkan manusia dengan Tuhannya. Menurutnya pula, melalui alamlah Tuhan mengekspresikan kasih sayang-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya yang di dunia ini. [9]

Intisari pembelajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di hadirat-Nya. Dengan upaya ini manusia modern dapat melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara ini. Kemampuan berhubungan dengan Tuhan dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang nampak berserakan. Karena melalui tasawuf ini manusia disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam paham wahdatul wujud, alam dan manusia yang menjadi obyek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah baying-bayang atau fotocopy Tuhan. Dengan cara demikian antara satu ilmu dengan ilmu lainnya akan saling mengarah pada Tuhan. Di sinilah perlunya ilmu dan teknologi yang berwawasan moral, yaitu ilmu yang diarahkan oleh nilai-nilai dari Tuhan.[10]

William James menegaskan bahwa: “selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan). Maksud cemas disini adalah, cemas jika ilmu yang dimilikinya itu tidak dimanfaatkan sesuai perintah Tuhan. Dan rasa cemas itu sebagai tanda beragama dan bertuhan. Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama.[11]

Dengan adanya bantuan tasawuf ini maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Perasaan beragama yang didukung oleh ilmu pengetahuan itu juga akan semakin mantap. Hubungan ilmu dengan ketuhanan yang diajarkan agama jelas sekali. Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu hiasan lahir dan agama hiasan batin. Ilmu memberikan kekuatan yang menerangi jalan, dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu menjawab pertanyaan  yang dimulai dengan “bagaimana” dan agama menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “mengapa”. Ilmu tidak jarang mengeluarkan pikiran pemiliknya, sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.[12]

Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi pekerti yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Dengan cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama.

Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa depan manusia, seperti melakukan introspeksi (muhasabah) baik dalam kaitannya dengan masalah-masalah vertikal maupunhorisontal, kemudian meluruskan hal-hal yang kurang baik. Selalu berdzikir (dalam arti yang seluas-luasnya) kepada Allah SWT. Sebagai Sumber Gerak, Sumber Kenormatifan, Sumber Motivasi dan Sumber Nilai yang dapat dijadikan acuan hidup. Dengan demikian, seseorang bias selalu berada di adtas Sunnatullah dan  Shirath al-mustaqim.[13]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

            Secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Masyarakat modern ialah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler. Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupan duniawi, telah secara signifikan menyingkirkan mereka dari segala aspek spiritualitas. Bagi mereka, kehidupan dimulai di dunia ini dan berakhir juga di dunia ini, tanpa tahu dari mana ia berasal dan hendak kemana setelah ini ia pergi. Akibatnya, mereka hanya berkutat di satu dunia ini saja, seakan mereka tidak pernah punya asal dan tempat kembali. Keterputusan spiritual yang seperti itu membuat manusia modern juga kehilangan kontak mereka dengan Tuhan. Oleh karena itu, Tasawuf memberikan petunjuk arah bagi manusia yang mengalami krisis spiritual tersebut. Ketika manusia modern telah kehilangan identitas dirinya, maka tasawuf dapat memberikan pengertian yang telah konfrehensif tentang siapa manusia itu sesungguhnya. Dengan upaya ini manusia modern dapat melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara ini.



DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 1990. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Penerbit Erlangga
Nata, Abuddin. 1997. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan
Syukur, Amin. 1997. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Syukur, Amin. 1999. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syukur, Amin. 2003. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar




[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 279
[2] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 177
[3] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 264
[4] Ibid., hlm. 269
[5] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 112
[6]Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, op.cit., hlm. 177
[7] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, op.cit., hlm. 122
[8] Ibid., hlm.122
[9] Mulyadhi Kartanegara, op.cit., hlm. 274
[10] Abuddin Nata, op.cit., hlm. 295
[11] Ibid., hlm. 296
[12] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.III, hlm. 376
[13] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, op.cit., hlm. 114

0 comments:

Post a Comment

Keluarga

Keluarga
Jejak Ora Normal

keluarga

keluarga
Je Ow En