SEMANTIK
MAKALAH
Di susun Guna Memenuhi Tugas
Di susun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Linguistik
Dosen Pengampu:
Di
susun oleh:
1)
Lu’luil
Maknun (1410210010)
2)
Iva
Fauziyah (1410210021)
3)
Susi Khomsatun (1410210030)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PENDIDIKAN BAHASA ARAB
2016
التجريد
فهذه دراسة نظرية وتطبيقية في علم الدلالة, ظللت أثناءها أجمع مادة
هذه الدراسة من بعض كتب التراث, وكتب المحدثين من اللغويين, حتى تنى لي أن أجمع من
فكر قدماءاللغويين إلى فكر اللغويين المحدثين في الاغلب الأعم من فصول هذالبحث,
ذلك ان الفكراللغوي بينه وشائج ثابتة,وأن اللغويين على إختلاف بيئاتهم ولغاتهم
وزمانهم اشتركوا بل اتفقوا على قوانين لغوية, وجمعتهم أفكار واحدة او متقاربة في
ميدان الدرس اللغوي, ومن ذالك تقاربهم في الحديث
عن خصائص اللغة بوجه عام, من أنها ظاهرة إنسانية, وأنها ظاهرة اجتماعية, وأنها خلافة. ومن ذالك ما رأيناه من
اتفاقالخليل إبن أحمد ودسوسير الذي ينسب إليهزيادة علم اللغة الحديث وتشومكي
اللغوياللغوي المعاصر في فكرة لغوية واحدة, غير أن كلا منهم العبرعنها مصطلحه
الخاص, فالمهمل والمستعمل عند الاول, واللغة والكلام عند الثاني, والطاقة والأداء
عند الثالث مصطلحات متقاربة المعنى في الدلالة على واحدة من سمات اللغة أية لغة.
ومن ذلك ما وجدنامن اجتماع فكر القدماء والمحدثين, من أن اللغة متغيرة
بتغير المجتمع وأن التغير يأتي نتيجة الإحتياج وضرورات الحياة التجددة, ومن ذالك
إتفاق القدماء والمحدثين على أن لهذا التغير أسبابا تدعوإليه وأن هذه الأسباب
اجتماعية, وثقافية, ولغوية, وتاريخية.
وقد جعلت البحث في مقدمة على النحو التالي:
التعريف بعلم الدلالة, وقد ربط البحث فيه بين المعنى اللغوي
والاصطلاحي بلفظ الدلالة في العربية, وأوضح نشأة المصطلح الأوربي وتطوير دلالته,
وأشارإلى موضوع هذالعلم الحديث, ومنزلته بين مستويات الدرس اللغوي, ثم عرض لكلمة
المعنى بين اللغة والإصطلاح العربي القديم والإصطلاح اللغوي الحديث, وبحث العلاقة
بين علمالدلالة وعلم الرموز, والعلاقة بين الدال والمدلول وتقسيم علماء العرب
لأنواع الدلالة.
أنواع الدلالة اللغوية, وقد عرض البحث فيه للدلالة الصوتية, والدلالة
الصرفية, والدلالة النحوية, والدلالة المعجمية, والدلالة السياقية, وقد عضد كل نوع
منها بأمثلة تطبيقية, وبهذا يتسنى لمن يريد التطبيق في تحليل نص من النصوص أن يجري
التحليل بدءامن الدلالة الصوتية وإنتهاء بالدلالة السياقية.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hockett, menyatakan
bahwa bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem
bahasa ini terdiri atas lima subsistem, yaitu subsistem gramatika, subsistem
fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem semantik, dan subsistem fonetik.
Chomsky sendiri, dalam bukunya yang pertama tidak menyinggung masalah makna,
baru pada buku yang kedua, menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu
komponen dari tata bahasa, di samping dua komponen lain yaitu sintaksis dan
fonologi, serta makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik.
Sejak
Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik
dalam studi linguistik, maka studi semantik sebagai bagian dari studi linguistik
semakin diperhatikan. Semantik tidak lagi menjadi objek periferal, melainkan
menjadi objek setaraf dengan bidang-bidang studi linguistik lainnya, baik
fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Banyak
perhatian diarahkan pada semantik. Berbagai teori tentang makna bermunculan.
Memang
kalau kita ingat tentang teori bapak linguistik modern, Ferdinand de Saussure,
bahwa linguistik terdiri dari komponen signifian
dan signifie, maka sesungguhnya studi linguistik tanpa disertai
dengan studi linguistik adalah tidak ada artinya. Sebab kedua komponen itu
tidak dapat dipisahkan. [1]
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang diatas, kami merumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian
semantik ?
2.
Apa perbedaan
semantik dan sintaksis ?
3.
Bagaimana konsep
makna menurut pakar ?
4. Apa
saja jenis-jenis makna?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Semantik
Semantik
dalam Bahasa Arab dikenal dengan ‘ilmu dilalah’ berupa fi’il mashdar دلالة yang
mempunyai arti memberi petunjuk, yaitu memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus.[2]
Menurut John Loyns dan Fodor الدلالة هي دراسة المعنى yang
artinya ‘dilalah’ yakni ilmu yang mempelajari tentang makna.[3]
Dalam buku ilm al-Lugoh al-‘amm علم الدلالة هو
علم يبحث في معاني المفردات والعلاقات بينهما ‘Ilmu dilalah’ adalah
ilmu yang membahas tentang makna dan yang berkaitan dengan makna.[4]
Verhaar
Mengemukakan bahwa semantik berarti teori makna atau teori arti, yakni cabang
sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.[5] Menurut
Ensiklopedia britanika, semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu
pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktifitas
bicara. Sedangkan menurut Chaer, semantik adalah ilmu tentang makna atau
tentang arti. Yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa berupa: fonologi,
morfologi dan sintaksis.[6]
Semantik sebagai cabang ilmu bahasa mempunyai
kedudukan yang sama dengan cabang-cabang ilmu bahasa lainnya. Semantik
berkedudukan sama dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di sini, yang
membedakan adalah cabang-cabang ilmu bahasa ini terbagi menjadi dua bagian
besar yaitu morfologi dan sintaksis termasuk pada tataran gramatika, sedangkan
fonologi dan semantik termasuk pada tataran di luar gramatika.
Makna
atau arti hadir dalam tatabahasa baik morfologi, sintaksis, maupun leksikon.
Didalam cakupan semantik ada bidang yang khas, yang dikenal sebagai “deiksis”.
Deiksis adalah sifat semantis sedemikian rupa sehingga dimensi referensial kata
tertentu tergantung dari identitas penutur. Misalnya, siapa yang diacu oleh
pronomina seperti aku dan kamu tergantung dari siapa yang menjadi
penutur.[7]
B.
Perbedaan
Semantik dengan Sintaksis
Sintaksis
merupakan bagian-bagian dari subsistem gramatika atau tata bahasa. Sintaksis
yang juga disebut tata kalimat merupakan studi gramatikal mengenai kalimat.
Dalam sintaksis kata menjadi satuan yang terkecil yang membentuk satuan-satuan
gramatikal yang lebih besar. Dalam praktek sintaksis pada umumnya membatasi
pembicaraannya sampai kepada kalimat, artinya menganggap kalimat sebagai
satuannya yang terbesar walaupun sebenarnya kalimat bukan satuan yang terbesar
dalam bahasa.
Sintaksis
berasal dari bahasa Belanda syntaxis. Sintaksis
ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana,
kalimat, klausa, dan frase. Tarigan mengemukakan bahwa sintaksis adalah salah
satu cabang dari tata bahasa yang membicarakan struktur kalimat, klausa, dan
perasa, misalnya : Saya dan Ali sedang
menggambar lukisan pemandangan ketika
nenek Aminah sedang memasak nasi goreng.[8]
Sedangkan semantik adalah ilmu tentang makna atau
tentang arti. Menurut Ferdinand de Saussure makna adalah pengertian atau konsep
yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Di dalam masalah
berbahasa tanda linguistik tersebut tidak berwujud. Kalau tanda linguistik
disamakan dengan kata atau leksem, maka berarti makna adalah pengertian atau
konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem; kalau tanda linguistik
disamakan identitasnya dengan morfem, maka berarti makna itu adalah pengertian
atau konsep yang dimiliki setiap morfem.
Ada yang menyatakan bahwa makna itu
tidak lain dari pada sesuatu atau referen yang diacu oleh kata atau leksem itu.
Hanya perlu dipahami bahwa tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan
konkret di dunia nyata. Misalnya leksem seperti agama, kebudayaan , dan keadilan
tidak dapat ditampilkan referennya secara konkret.[9]
Jadi,
dapat dikatakan bahwa sintaksis mempelajari tentang struktur kalimat, klausa,
dan perasa. Contohnya: Saya dan Ali sedang menggambar
lukisan pemandangan.
Sedangkan, semantik adalah ilmu tentang makna atau
tentang arti. Contohnya: kuda memiliki makna ‘sejenis binatang berkaki
empat yang dapat dikendarai’.
C.
Konsep
Makna Menurut Pakar
Pengertian
Makna Menurut tiga ahli yaitu :
1.
Menurut Mansoer
Pateda mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang
membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.[10]
2.
Menurut Ullman
mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. [11]
3.
Menurut
Ferdinand De Saussure mengungkapkan bahwa pengertian makna sebagai pengertian
atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik. [12]
letak
perbedaan pendapat para ahli yaitu :
1.
Perbedaan dari
pengertian makna menurut para ahli di atas dapat dikatakan bahwa batasan
tentang pengertian makna sangat sulit untuk di tentukan karena setiap pemakai
bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah
ujaran atau kata.
2.
Persamaan dari
pengertian menurut para ahli diatas adalah sama-sama mengungkapkan maksud
pembicara, menjelaskan bahwa pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi
atau prilaku manusia atau juga kelompok manusia, menjelaskan hubungan dalam arti
kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua
hal yang ditunjukkannya.
3.
Dari uraian
diatas dapat di simpulkan bahwa pengertian makna merupakan bagian yang tidak
dapat di pisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita
tuturkan.
D.
Jenis-Jenis
Makna
Para
linguis telah mengemukakan berbagai jenis makna dalam buku linguistik atau
semantik. Berikut jenis-jenis makna yang akan mewakili seluruh jenis-jenis
makna yang telah dikemukakan para linguis.
1.
Makna Leksikal,
Gramatikal, dan Kontekstual
Makna
leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem mesti tanpa konteks
apapun.[13]
Bidang yang meneliti semantik leksikal menurut asas-asasnya dinamakan dengan
leksikologi.[14]
Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal ‘sejenis binatang berkaki
empat yang biasa dikendarai’; pinsil bermakna leksikal ‘sejenis alat
tuis yang terbuat dari kayu dan arang’. Dengan contoh itu dapat juga dikatakan
bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra
kita, atau makna apa adanya.
Berbeda
dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses
gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi.
Contohnya, dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan kata dasar baju
melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju’; dengan kata dasar kuda
melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’. Contoh lain, proses komposisi
dengan kata dasar sate dengan kata dasar ayam melahirkan makna
gramatikal ‘bahan’; dengan kata dasar Madura melahirkan makna gramatikal
‘asal’; dengan kata dasar lontong melahirkan makna gramatikal ‘bercampur’; dan
dengan kata dasar pak Kumis (nama pedagang sate yang terkenal di
Jakarta) melahirkan makna gramatikal ‘buatan’. Selanjutnya, sintaksisasi
kata-kata adik, menendang, dan bola menjadi kalimat Adik
menendang bola melahirkan makna gramatikal; adik bermakna ‘pelaku’, menendang
bermakna ‘aktif’, dan bola bermakna ‘sasaran’. Sintaksisasi
kata-kata adik, menulis, dan surat melahirkan makna
gramatikal: adik bermakna ‘pelaku’, menulis bermakna ‘aktif’ dan surat
bermakna ‘hasil’.[15]
Makna
kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada didalam satu
konteks. Baik konteks verbal maupun konteks situasi, konteks situasi
diperkenalkan ke dalam linguistik oleh seorang antropolog Bronislaw Malinowski
berdasarkan pengalaman lapangannya tentang bahasa dan kebudayaan penduduk Trobriand
Island di Pasifik Selatan.[16] Misalnya, makna kata jatuh yang diberada
dalam kalimat diberikut: Adik jatuh dari sepeda, Dia jatuh dalam
ujian yang lalu, Dia jatuh cinta pada adikku, kalau harganya jatuh lagi
kita akan bangkrut. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni
tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu.[17]
2.
Makna
Referensial dan Non-referensial
Sebuah
kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensnya, atau
acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah
termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia
nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan, atau, dank arena adalah
termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak
mempunyai referens.
Berkenaan
dengan acaun ini ada sejumlah kata, yang disebut dengan kata-kata deiktik, yang
acuannya tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud
yang satu kepada maujud yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik adalah
kata-kata yang termasuk pronominal seperti dia, saya, dan kamu;
kata-kata yang menyatakan ruang, seperti di sini, di sana, dan di
situ; kata-kata yang menyatakan waktu, seperti sekarang, besok, dan nanti;
dan kata-kata yang disebut kata petunjuk, seperti ini dan itu.
Contohnya, kata saya pada kalimat-kalimat berikut:
Ani : “Tadi pagi saya bertemu dengan
Pak Ahmad”,
Ali : “Saya juga bertemu beliau tadi
pagi”,
Amin : “Saya sudah lama tidak berjuma
dengan beliau”.
kata
saya pada kalimat yang pertama mengacu kepada Ani, pada kalimat yang
kedua mengacu kepada Ali, dan pada kalimat yang ketiga mengacu kepada Amin.[18]
3.
Makna Denotatif
dan Makna Konotatif
Hubungan
antara makna denotasi dan konotasi terletak pada notasi dan rujukannya.
Dua-duanya mempunyai notasi yang sama atau mirip, tetapi yang satu dengan de-
dan yang lain dengan ko-. Imbuhan de- berarti tetap dan wajar
sebagaimana imbuhan ko- yang berarti bersama yang lain atau ada tambahan
yang lain terhadap notasi yang bersangkutan. [19]
Jadi,
makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang
dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan
makna leksikal. Contohnya kata babi bermakna denotatif ‘sejenis binatang
yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya’. Kata kurus bermakna
denotatif ‘keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran normal’.
Makna
konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang
berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan
kata tersebut. Contohnya, kata babi bermakna konotatif ‘pada orang yang
beragama Islam atau di dalam masyarakat Islam mempunyai konotasi yang negatif’.
Kata kurus bermakna konotatif ´netral artinya tidak mempuntai makna yang
tidak mengenakkan. Tetapi kata ramping, yang sebenarnya bersinonim
dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif, sebaliknya kata krempeng
yang sebenarnya memiliki juga bersinonim dengan kata kurus dan ramping
itu, mempunyai konotasi yang negatif.[20]
Contoh
lain, denotasi kata penjara adalah kemampuan kata tersebut untuk
bereferensi pada sebuah penjara, sedangkan konotasi kata tersebut adalah negative
untuk hampir semua penutur, karena alasan yang jelas yaitu penghuni penjara sudah
tidak memiliki kebebasan lagi menurut kehendaknya sendiri. Konotasi dan
denotasi dapat menjadi sama, misalnya dalam perkataan yang dipakai orang untuk
mengelu-elukan orang, ataupun untuk mencaci maki.[21]
4.
Makna Konseptual
dan Makna Asosiatif
Makna
konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks
atau asosiasi apapun. Contohnya, kata kuda memiliki makna konseptual ‘
sejenis bintang berkaki empat yang biasa dikendarai’; dan kata rumah
memiliki makna konseptual ‘ bangunan tempat tinggal manusia’. Jadi, makna
konseptual sebenarnya sama dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna
referensial.
Makna
asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata yang berkenaan
dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa.
Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang ‘suci atau
kesucian’; kata merah berasosiasi dengan ‘berani’; dan kata buaya berasosiasi
dengan ‘jahat atau kejahatan’. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan
lambang atau perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk
menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau
ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut.
Menurut
Leech makna asosiasi ini sama dengan makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, dan makna
kolokatif. Makna stilistika berkenaan dengan pembedaan penggunaan kata
sehubungan dengan perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Contohnya, kita
membedakan penggunaan kata rumah, pondok, kediaman, kondomium,
istana, vila, dan wisma, yang semuanya member asosiasi yang berbeda
terhadap penghuninya. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara
terhadap lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan. Makna afektif lebih
nyata terasa dalam bahasa lisan. Perhatikan kedua kalimat berikut ini “tutup
mulut kalian!”, bentaknya kepada kami; “coba, mohon diam sebentar!”, katanya
kepada kami. Makna kolokatif berkenaan dengan cirri-ciri makna tertentu yang
dimiliki sebuah kata ari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata
tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya.
Misalnya, kata tampan yang sesungguhnya bersinonim dengan kata-kata cantik
dan indah, hanya cocok atau berkolokasi dengan kata yang memiliki ciri
pria.[22]
5.
Makna Kata dan
Makna Istilah
Setiap
kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata
adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makma konseptual. Namun, dalam
penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di
dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata jatuh
sebelum kata itu berada di dalam konteksnya. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan
lengan sebagai kata, maknany lazim dianggap sama. Jadi kata tangan dan
lengan bersinonim atau bermakna sama.
Berbeda
dengan kata, maka yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas,
yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Contohnya, kata tangan
dan lengan dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan
bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan; sedangkan lengan
adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.[23]
6.
Makna Idiom dan
Peribahasa
Idiom
adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat di ramalkan dari makna
unsure-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contohnya,
secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima
uang dan yang membeli menerima rumahnya’; tetapi, dalam bahasa Indonesia bentuk
menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu melainkan bermakna
‘tertawa keras-keras’. Jadi, makna seperti yang dimiliki bentuk menjual gigi
itulah yang disebut makna idiomatika.
Peribahasa
memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna
unsure-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya
sebagai peribahasa. Contohnya peribahasa anjing dengan kucing yang
bermakna ‘dikatakan ikhwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini
memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua selalu berkelahi, tidak pernah
damai. Contoh lain, peribahasa tong kosong nyaring bunyinya yang
bermakna ‘orang yang banyak cakapnya biasanya tidak berilmu’. Makna ini dapat
ditarik dari asosiasi: tong yang berisi bila dipukul tidak mengeluarkan bunyi,
tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras, yang nyaring.[24]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Semantik
adalah ilmu tentang makna atau tentang arti. Yaitu salah satu dari tiga tataran
analisis bahasa berupa: fonologi, morfologi dan sintaksis. Perbedaan sintaksis
dengan semantik yaitu sintaksis mempelajari tentang struktur kalimat, klausa,
dan perasa. Sedangkan, semantik adalah ilmu tentang
makna atau tentang arti.
Menurut
Mansoer Pateda mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah
yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun
kalimat. Menurut Ferdinand De Saussure mengungkapkan bahwa pengertian makna
sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda
linguistik.
Jenis-jenis
makna meliputi:
a.
Makna Leksikal,
Gramatikal, dan Kontekstual
b.
Makna
Referensial dan Non-referensial
c.
Makna Denotatif
dan Makna Konotatif
d.
Makna Konseptual
dan Makna Asosiatif
e.
Makna Kata dan
Makna Istilah
f.
Makna Idiom dan
Peribahasa
B.
Saran
kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan.Untuk itu, kami mengharap kritik dan masukan yang membangun untuk
perbaikan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan
ilmu pengetahuan kita dan bermanfaat untuk di dunia dan di Akhirat.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer,
Abdul , Linguistik Umum, 2014, Jakarta: Rineka Cipta.
Haidar,
Farid Iwad, Ilmu dilalah, 2005, Jami’ah
al-Qohiroh.
Daud,Muhammad
Muhammad, al-Arabiyyah wa al-Ilm al-Lugot al-Hadis, Kulliyat
at-Tarbiyah: Jami’ah Qonat al-Suwis.
Jami’ah
al-Madinah al-‘Alamiah, Ilm al-Lugoh al-‘Amm, 2001, kitabul Maddah.
Verhaar,
Asas-Asas Linguistik Umum, 2010, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Tarigan,
Henry Guntur, Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, 2008,
Bandung: Angkasa Bandung.
Petada,
Mansoer, Semantik Leksikal, 2007, Nusa Indah.
Ullman,
Stephen, Pengantar Semantik, 2007,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Parera
J.D., Teori Semantik, 2004, Jakarta: Erlangga.
[1]Abdul Chaer, Linguistik
Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hlm.284-285.
[2]
Farid Iwad
Haidar, Ilmu dilalah, (Jami’ah
al-Qohiroh, 2005), hlm. 11.
[3] Muhammad
Muhammad Daud, al-Arabiyyah wa al-Ilm al-Lugot al-Hadis, (Kulliyat
at-Tarbiyah: Jami’ah Qonat al-Suwis), hlm. 179.
[4]
Jami’ah
al-Madinah al-‘Alamiah, Ilm al-Lugoh al-‘Amm, (kitabul Maddah,2001),
hlm. 344.
[5]
Verhaar, Asas-Asas
Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm:
385.
[6]
Abdul Chaer, Op.cit,
hlm. 284.
[7]
Ibid, hlm. 385.
[8] Henry Guntur
Tarigan, Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa
Bandung, 2008), hlm..
[9]
Abdul Chaer, Op.cit,
hlm. 287-288.
[10]Mansoer Petada,
Semantik Leksikal, (:Nusa Indah, 2007), hlm. 79.
[11]
Ibid,
hlm.
82.
[12]
Abdul Chaer, Op.cit,
hlm. 286.
[13]
Abdul Chaer, Op.cit,
hlm. 289.
[14]
Verhaar, op.cit,
hlm. 388.
[15]
Abdul Chaer,
Op.cit, hlm.290.
[16]
Stephen Ullman,
Pengantar Semantik, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 59.
[17]
Abdul Chaer,
Op.cit, hlm.290.
[18]
Ibid,
hlm.
291.
[19] J.D.Parera, Teori
Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm.97.
[20]
Abdul Chaer, Op.cit,
hlm. 292-293.
[21]Verhaar, Op.cit,
hlm. 390.
[22]
Ibid,
hlm.293-294.
[23]
Ibid,
hlm.294-296.
[24]
Ibid,
hlm.296-297.
0 comments:
Post a Comment