Tembang
Dolanan sebagai Salah Satu Wujud Peradaban
Islam di Jawa
ARTIKEL
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata
Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Dosen
Pengampu : Bpk. Manijo
Disusun Oleh:
Kafia Ansori
(1410210019)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PENDIDIKAN BAHASA ARAB
TAHUN
2015
Tembang Dolanan
sebagai Salah Satu Wujud Peradaban Islam di Jawa
Agama Islam
mulai berkembang di Jawa kurang lebih pada abad 14 yang disebarluaskan oleh wali
songo.Wali Songo adalah sebutan bagi para muballigh yang menyebarkan agama
Islam di tanah Jawa. Mereka Semuanya adalah pedatang dari luar nusantara
kecuali sunan Kalijaga.
Dalam menyebarkan
Islam, wali songo mempunyai strategi khusus dalam berdakwah. Hal ini
dikarenakan para sunan hanya memiliki dua pilihan dalam menyebarkan agama
Islam, yaitu : menanamkan Islam pada masyarakat dengan menghilangkan semua
kebudayaan yang sudah ada atau mengkolaborasikan dua kebudayaan yang berbeda. Para
sunan tidak menggunakan kekerasan dalam berdakwah sebagaimana jihad atau
memerangi para pembangkang.
Salah satu trateginya
dengan melakukan pendekatan kebudayaan sehingga lahirlah berbagai kebudayaan yang
menjadi khas di Jawa. Termasuk didalamnya tembang-tembang dholanan yang sering
dinyanyikan anak-anak. Tembang-tembang yang sering dilantunkan seperti sluku-sluku
bathok, lir ilir, gundul-gundul pacul, dll merupakan materi dan media yang
digunakan para sunan untuk menyebarkan agama Islam.
Tembang-tembang
tersebut tidak semata-mata dibuat untuk hiburan, melainkan didalamnya
terkandung makna-makna kehidupan yang religious. Itu sebabnya masyarakat Jawa sangat
mudah menerima Islam sebagai pegangan hidup mereka. Anak-anak yang sering
melantuntan tembang yang diajarkan para wali secara tidak langsung mereka
mempelajari Islam dan mereka merasa senang dan bahagia. Para orang tuapun juga
tertarik dengan tembang-tembang ciptaan sunan, sehingga Islam sangat mudah
berkembang pesat di Jawa. Dakwah Islam kepada masyarakat dikemas secara indah
dalam sebuah tembang yang enak didengar. Inilah yang menjadikan Islam dapat
berkembang lebih cepat daripada di tanah Sumatra ataupun lainnya.
Adapun makna religious
yang terkandung dalam tembang-tembang dholanan antara lain :
1.
Gundul gundul pacul
Gundul gundul pacul cul, gemblelengan
Nyunggi nyunggi wakul kul, gemblelengan
Wakul glimpang segane dadi sak latar 2x
Nyunggi nyunggi wakul kul, gemblelengan
Wakul glimpang segane dadi sak latar 2x
Tembang Jawa diatas,
konon diciptakan tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang
masih remaja. Tembang tersebut tak hanya tembang mainan, akan tetapi mempunyai
arti filosofis yg dalam dan sangat mulia.
Gundul adalah kepala
plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang.
Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka gundul artinya kehormatan
yang tanpa mahkota. Sedangkan pacul adalah cangkul, yaitu alat petani yang
terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul adalah lambang kawula rendah yang
kebanyakan adalah petani. Gundul pacul artinya: bahwa seorang pemimpin
sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul
untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Orang Jawa mengatakan
pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas). Artinya bahwa: kemuliaan
seseorang akan sangat tergantung 4 hal, yaitu: bagaimana menggunakan mata,
hidung, telinga dan mulutnya.
1. Mata digunakan untuk melihat
kesulitan rakyat.
2.Telinga digunakan untuk mendengar
nasehat.
3. Hidung digunakan untuk mencium
wewangian kebaikan.
4. Mulut digunakan untuk berkata- kata
yang adil.
Jika
empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya. Gembelengan artinya: besar
kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.
GUNDUL2
PACUL CUL artinya orang yang dikepalanya sdh kehilangan 4 indera tersebut yang
mengakibatkan sikap berubah jadi GEMBELENGAN (= congkak).
NYUNGGI2
WAKUL KUL (menjunjung amanah rakyat) selalu sambil GEMBELENGAN (= sombong
hati), akhirnya WAKUL NGGLIMPANG (amanah jatuh gak bisa dipertahankan) SEGANE
DADI SAK LATAR (berantakan sia2, tak bisa bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat)
2. Cublak-cublak
suweng
Masih ingat dolanan saat kita masih kecil dan biasanya
dilakukan pas terang bulan ini? Beberapa anak ikut bermain, satu anak duduk
telungkup seperti posisi sujud dan memejamkan matanya sementara anak-anak
lainnya duduk mengitarinya lalu tangan anak-anak tersebut dalam posisi
menengadah menunggu giliran sebuah batu kerikil yang nanti akan jatuh dalam
salah satu genggaman tangan seorang anak. Sambil menggilir batu tsb anak-anak
menyanyikan lagu ini :
Cublak-cublak suweng
Suwenge ting gelenter
Mambu ketundung gudhel
Pak gempo lerak-lerek
Sopo ngguyu ndelekakhe
Suwenge ting gelenter
Mambu ketundung gudhel
Pak gempo lerak-lerek
Sopo ngguyu ndelekakhe
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Sir-sir pong dele kopong
Selesai menyanyi lagu itu, anak yang telungkup bangun dan
disuruh menebak siapa yang menggenggam batu tsb. Si anak yang telungkup bila
salah menebak maka dia akan disuruh telungkup lagi dalam fase permainan
berikutnya.
Permainan ini pastilah sudah lama kita tinggalkan. Namun
tanpa kita sadari sampai kita dewasa pun kita masih melakukan ’permainan’ ini.
Dalam kehidupan sehari-hari. Permainan anak-anak yang akrab bagi masyarakat
Jawa ini ternyata mengandung banyak makna dan mengajarkan kehidupan sedari
kecil. Konon (katanya) permainan ini awalnya dikenalkan oleh Walisongo.
Permainan ini memang mengajari tentang pencarian harta dalam
hidup. Dari lirik lagunya ”cublak-cublak suweng” …suweng artinya
hiasan di telinga, lebih berharga daripada anting…identik dengan harta. Bisa
diartikan ayolah ”tebak tempat menyimpan harta”
”Suwenge ting gelenter” maksudnya hartanya tersebar
dimana-mana. Hal ini terlihat pula dalam permainannya dimana anak-anak
menyembunyikan batu kerikil (diibaratkan suweng) lalu beredar dari satu tangan
ke tangan yang lain (”suwenge ting gelenter”)
”Mambu ketundung gudhel” = mambu artinya tercium,
ketundung artinya yang dituju, sedangkan gudhel artinya anak kerbau….mengapa
anak kerbau, bukan kerbaunya? Anak kerbau identik dengan
kebodohan(karena masih berwujud anak, yang belum matang alias belum tahu
apa-apa). Secara garis besar kabar tentang tempat harta ini mudah tercium
(tersiar) oleh orang-orang bodoh.
”Pak Gempo lerak-lerek” = Pak Gempo melirik-lirik (mencarinya). Pak Gempo digambarkan sebagai kebalikan dari gudhel yang masih berwujud anak. Makanya menggunakan kata awalan ’Pak’. Pak Gempo adalah sosok manusia yang telah dewasa dan berusaha mencari harta (’suweng’) tsb. Pak Gempo diwujudkan sebagai manusia yang berakal, beda dengan ’gudhel’ yang hanya anak hewan yang identik dengan kebodohan. Sehingga dianggap Pak Gempo bisa mencari harta tsb. Dalam permainan wujud Pak Gempo adalah anak yang bermainan dalam posisi sujud dan akhirnya dia harus menebak siapa yang menyimpan batu kerikil tsb.
”Sopo ngguyu ndelekakhe” = Siapa yang tertawa pasti
menyembunyikan. Di permainannya kita tahu bahwa anak-anak yang lain (yang tidak
telungkup) pasti tertawa saat anak yang telungkup berusaha menebak siapa yang
menyimpan batu kerikilnya.
” Sir-sir pong dele kopong” = di dalam hati nurani
yang kosong. Suatu petunjuk bagi yang ingin mencari harta/menebak di permainan
bahwa untuk mencari pelakunya gunakanlah hati nurani.
Bisa ditafsirkan secara garis besar makna dari lagu dan
permainan ini adalah sebagai berikut:
Kita sebagai manusia biasa yang tercipta dari tanah. Makanya
dalam permainan seorang anak harus telungkup mencium tanah seolah sedang sujud.
Hanya manusia biasa yang tak tak tahu apa-apa. Namun manusia tetap ada hasrat
nafsu sebagaimana nabi Adam dikeluarkan dari surga karena mencium wanita.
Manusia mempunyai hasrat nafsu harta, tahta dan wanita.
Kemungkinan maksud Walisongo mempopulerkan permainan rakyat
ini untuk menanamkan hati nurani yang ikhlas bila kita hendak mencari harta.
Kembali kepada nilai-nilai islami, seperti sedekah untuk mencari harta yang
banyak bukan dengan jalan pintas (korupsi). Harta yang dicari dengan jalan cepat
akan hilang dalam waktu cepat pula.
Itulah
sebagian kecil peradaban Islam yang ada di Jawa dan masih banyak peradaban
Islam yang tersebar di tanah Jawa. Kita sebagai seorang Muslim minimal kita mengenali
sekilas peradaban yang telah dibentuk oleh para pejuang Islam sebelum kita.
Semoga Tuhan selalu merahmati kita.
DAFTAR
PUSTAKA
♦
Djaka Lodang, 5 Agustus 1989, GBHN 1993. Surakarta PT Pabelan.
♦
Suwarna & Suwardi. 1996. Integrasi Pendidikan Budi Pekerti dalam
buku Teks ‘Tataran Wulang Basa Jawa kanggo SD. Laporan
Penelitian.Yogyakarta: Lemlit,IKIP
buku Teks ‘Tataran Wulang Basa Jawa kanggo SD. Laporan
Penelitian.Yogyakarta: Lemlit,IKIP
♦
Widyatmanta, Siman. (2002), Berbahasa Jawa : Untuk Pelayanan
Gerejawi dan Masyarakat, Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen
Gerejawi dan Masyarakat, Yogyakarta, Taman Pustaka Kristen