MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
UTS
Mata Kuliah : Tafsir
Dosen Pengampu : Ibu Istianah
Disusun
Oleh :
Muhammad
Abdurrochman Luthfi
(1410210029)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan memiliki
peran penting pada era sekarang ini. Karena tanpa melalui pendidikan proses
transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk
diwujudkan. Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan
waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education).
Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan
pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan
porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu
(pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja
yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan
urusan duniawi juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai
kebahagiaan hari kelak tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini.
Islam juga menekankan akan pentingnya membaca,
menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini. Membaca,
menelaah, meneliti hanya bisa dilakukan oleh manusia, karena hanya manusia
makhluk yang memiliki akal dan hati. Selanjutnya dengan kelebihan akal dan
hati, manusia mampu memahami fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya, termasuk
pengetahuan. Dan sebagai implikasinya kelestarian dan keseimbangan alam harus
dijaga sebagai bentuk pengejawantahan tugas manusia sebagai khalifah
fil ardh.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Pendidikan Menurut Al-Qur’an ?
2.
Bagaimana Cara Memperoleh Pendidikan Dan
Memanfaatkanya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Menurut
al-Qur’an
Sebelum membahas
pendidikan menurut Al-Qur’an, kita perlu ketahui pengertian pendidikan secara
umum. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata pendidikan berasal dari kata
“Didik” dan mendapat imbuhan pe- dan akhiran –an, maka mempunyai arti proses
atau cara atau perbuatan yang mendidik.
Didalam al-Qur’an
telah berkali-kali menjelaskan akan pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan
niscaya kehidupan manusia akan menjadi sengsara. Tidak hanya itu, al-Qur’an
bahkan memposisikan manusia yang memiliki pengetahuan pada derajat yang tinggi.
al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11 menyebutkan:
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ ءاَمَنُوْا مِنْكُمْ
وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتِ
“…Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat…”.
Al-Qur’an juga telah
memperingatkan manusia agar mencari ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam
al-Qur’an surat at-Taubah ayat 122 disebutkan:
فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ
طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
“Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Dari sini dapat dipahami bahwa betapa pentingnya
pengetahuan bagi kelangsungan hidup manusia. Karena dengan pengetahuan manusia
akan mengetahui apa yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang
membawa manfaat dan yang membawa madharat.
Islam menekankan
akan pentingnya pengetahuan dalam kehidupan manusia. Karena tanpa pengetahuan
niscaya manusia akan berjalan mengarungi kehidupan ini bagaikan orang tersesat,
yang implikasinya akan membuat manusia semakin terlunta-lunta kelak di hari
akhirat.Dalam al-Qur’an surat Thahaa ayat 114 disebutkan:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Katakanlah: ‘Ya
Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.”
B. Cara Memperoleh Pendidikan
Dan Memanfaatkannya
Pendidikan Islam
memiliki karakteristik yang berkenaan dengan cara memperoleh dan mengembangkan
pengetahuan serta pengalaman. Anggapan dasarnya ialah setiap manusia dilahirkan
dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan kemampuan yang
berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal itu kemudian dia belajar: mula-mula
melalui hal yang dapat diindra dengan menggunakan panca indranya sebagai
jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari hal-hal yang dapat diindra
kepada yang abstrak, dan dari yang dapat dilihat kepada yang dapat difahami.
Sebagaimana hal ini disebutkan dalam teori empirisme dan positivisme dalam
filsafat. Dalam firman Allah Q.s. an-Nahl ayat 78 disebutkan:
وَاللّٰهُ أَخْرَجَكُمْ مِّنْ بُطُوْنِ أُمَّهٰتِكُمْ
لاَ تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصٰرَ وَالْأَفئِدَةَ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.[1]
Dengan pendengaran,
penglihatan dan hati, manusia dapat memahami dan mengerti pengetahuan yang
disampaikan kepadanya, bahkan manusia mampu menaklukkan semua makhluk sesuai dengan
kehendak dan kekuasaannya. Namun, pada dasarnya
proses pemerolehan pengetahuan adalah dimulai dengan membaca, sebagaimana dalam
al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ
الْإِنْسٰنَ مِنْ عَلَقِ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ * الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ *
عَلَّمَ
الْإِنْسٰنَ مَا لَمْ يَعْلَم
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (3), Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4), Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya (5)”.
Dalam pandangan Quraish Shihab kata Iqra’ terambil
dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna
seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu,
dan membaca teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus
dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan
tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.Iqra’ berarti
bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam,
tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang
tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu
yang dapat dijangkaunya.[2]
Sebagaimana dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 101
disebutkan:
قُلِ انْظُرُوا مَا ذَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ
“Katakanlah:
‘Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi”.
Al-Qur’an membimbing
manusia agar selalu memperhatikan dan menelaah alam sekitarnya. Karena dari
lingkungan ini manusia juga bisa belajar dan memperoleh pengetahuan. Demikianlah,
al-Qur’an secara dini menggarisbawahi pentingnya “membaca” dan keharusan adanya
keikhlasan serta kepandaian memilih bahan bacaan yang tepat.[3]
Namun, pengetahuan
tidak hanya terbatas pada apa yang dapat diindra saja. Pengetahuan juga
meliputi berbagai hal yang tidak dapat diindra. Sebagaimana tertuang dalam
al-Qur’an surat Al-Haqqah ayat 38-39:
فَلآ أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ * وَمَا لاَ
تُبْصِرُونَ
“Maka Aku
bersumpah dengan apa yang kamu lihat (38). Dan dengan apa yang tidak kamu lihat
(39)”.
Dengan demikian,
objek ilmu meliputi materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada
wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak. Dalam al-Qur’an
surat Al-Nahl ayat 8 disebutkan:
وَيَخْلُقُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya”.[4]
Sebagaimana telah
dipaparkan di atas, dalam pengetahuan manusia tidak hanya sebatas apa yang dibutuhkan
untuk kelangsungan hidup manusia, namun juga semua pengetahuan yang dapat
menyelamatkannya di akhirat kelak.
Islam mengehendaki pengetahuan yang benar-benar
dapat membantu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia. Yaitu
pengetahuan terkait urusan duniawi dan ukhrowi,
yang dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di
akhirat.
Pengetahuan duniawi
adalah berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan urusan kehidupan manusia di
dunia ini. Baik pengetahuan moderen maupun pengetahuan klasik. Atau lumrahnya
disebut dengan pengetahuan umum. Sedangkan pengetahuan ukhrowi adalah berbagai
pengetahuan yang mendukung terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan hidup
manusia kelak di akhirat. Pengetahuan ini meliputi berbagai pengetahuan tentang
perbaikan pola perilaku manusia, yang meliputi pola interaksi manusia dengan
manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Atau biasa disebut
dengan pengetahuan agama.
Pengetahuan umum (duniawi) tidak dapat
diabaikan begitu saja, karena sulit bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan
hari kelak tanpa melalui kehidupan dunia ini yang mana dalam menjalani
kehidupan dunia ini pun harus mengetahui ilmunya. Demikian halnya dengan
pengetahuan agama (ukhrowi), manusia tanpa pengetahuan agama niscaya
kehidupannya akan menjadi hampa tanpa tujuan. Karena kebahagiaan di dunia akan
menjadi sia-sia ketika kelak di akhirat menjadi nista.
Islam selalu
mengajarkan agar manusia menjaga keseimbangan, baik keseimbangan dhohir maupun
batin, keseimbangan dunia dan akhirat. Dari sini dapat dipahami bahwa
Allah selalu menciptakan segala sesuatu dalam keadaan seimbang, tidak berat
sebelah. Demikian halnya dalam penciptaan manusia. Manusia juga tercipta dalam
keadaan seimbang. Dari keseimbangan penciptaannya, manusia diharapkan mampu
menciptakan keseimbangan diri, lingkungan dan alam semesta. Karena hanya
manusia yang mampu melakukannya sebagai bentuk dari kekhalifahan manusia
di muka bumi.
Dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77
disebutkan:
وَابْتَغِ فِيْمآ ءاَتٰكَ اللّٰهُ الدَّارَ
الْأَخِرَةَۖ وَلاَ تَنسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَاۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ
اللّٰهُ إِلَيْكَۖ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْأَرْضِۖ إِنَّ اللّٰهَ لاَ
يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Manusia tidak
dianjurkan oleh Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada
urusan akhirat saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan
tentang urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan
dan senda gurau belaka, atau hanyalah sebuah sandiwara raksasa yang diciptakan
oleh Tuhan semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia diharapkan mampu menjaga
keseimbangan dirinya dalam menjalani realita kehidupan ini, termasuk dalam
mencari pengetahuan.
Al-Qur’an surat al-An’aam ayat 32 menyebutkan:
وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ إِلاَّ نَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ
وَلَلدَّارُ الْأٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ ۖ اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
“Dan tiadalah
kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh
kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah
kamu memahaminya?”.
Islam menghendaki
agar pemeluknya mempelajari pengetahuan yang dipandang perlu bagi kelangsungan
hidupnya di dunia dan di akhirat kelak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat
201 disebutkan:
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَقُوْلُ رَبَّنَآ ءاَتِنَا فِى
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْأٰخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Dan di antara
mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Kebaikan (hasanah) dalam bentuk apapun tanpa
didasari ilmu, niscaya tidak akan terwujud. Baik berupa kebaikan duniawi yang
berupa kesejahteraan, ketenteraman, kemakmuran dan lain sebagainya. Apalagi
kebaikan di akhirat tidak akan tercapai tanpa adanya pengetahuan yang memadai.
Karena segala bentuk keinginan dan cita-cita tidak akan terwujud tanpa adanya
usaha dan pengetahuan untuk mencapai keinginan dan cita-cita itu sendiri.
Manusia memiliki
potensi untuk mengetahui, memahami apa yang ada di alam semesta ini. Serta
mampu mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan fenomena yang lainnya.
Karena hanya manusia yang disamping diberi kelebihan indera, manusia juga
diberi kelebihan akal. Yang dengan inderanya dia mampu memahami apa yang tampak
dan dengan hatinya dia mampu memahami apa yang tidak nampak. Dalam al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
وَعَلَّمَ ءاَدَمَ الْأَسْمَآءَ كُلَّهَا
“Allah
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”.
Yang dimaksud
nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti
manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.
Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang
diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah
dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai
hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk
memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan.[5]
Al-Qur’an
menandaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang mampu menciptakan
lingkungan yang baik, kondusif, yang bermanfaat bagi seluruh alam. Karena
sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dalam al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110
disebutkan:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ
“Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Pisau akan sangat
berguna ketika digunakan oleh orang yang berpikiran positif dan ahli dalam menggunakan
pisau. Sebaliknya, ketika pisau digunakan oleh orang yang berpikiran negatif,
niscaya bukan kemanfaatan dan kemaslahatan yang akan dihasilkan dari pisau itu,
melainkan kemadharatan.
Demikian halnya dengan pengetahuan, ketika
penggunaannya bertujuan untuk mencapai kemanfaatan niscaya pengetahuan itu pun
akan bermanfaat. Namun sebaliknya, ketika pengunaan pengetahuan digunakan untuk
kemadharatan, maka kemadharatan itulah yang akan didapat.
Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara
pancaindera, akal dan wahyu. Dengan pancaindera dan akal (hati), manusia bisa
menilai sebuah kebenaran (etika) dan keindahan (estetika). Karena dua hal ini
adalah piranti utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Namun,
disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki kekurangan. Sehingga
keduanya masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan tentang hakikat suatu
kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat memahami posisinya
sebagai khalifah fil ardh.[6]
Pemanfaatan pengetahuan harus ditujukan untuk
mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri, menjaga keseimbangan alam
semesta ini dengan melestari-kan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, yang
sekaligus sebuah aplikasi dari tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Dan
pemanfaatan pengetahuan adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada
Allah swt., Tuhan semesta alam.Wallahu a’lam.
Kesimpulan
Dari deskripsi
singkat di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an telah memberikan pendidikan yang tidak hanya berorientasi untuk
kepentingan hidup di dunia saja, akan tetapi juga berorientasi untuk
keberhasilan hidup di akhirat kelak. Karena kehidupan dunia ini adalah jembatan
untuk menuju kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan di akhirat.
Manusia sebagai insan kamil dilengkapi
dua piranti penting untuk memperoleh pengetahuan, yaitu akal dan hati. Yang
dengan dua piranti ini manusia mampu memahami “bacaan” yang ada di sekitarnya.
Fenomena maupun nomena yang mampu untuk ditelaahnya. Karena hanya manusia
makhluk yang diberi kelebihan ini.
Pengetahuan yang telah didapat manusia sudah
seyogyanya diorientasikan untuk kepentingan seluruh umat manusia. Karena
sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia seluruhnya. Dan
pemanfaatan pengetahuan adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada
Allah swt., Tuhan semesta alam.
Daftar Pustaka
al-Qardawi, Yusuf. Sunnah, Ilmu Pengetahuan
dan Peradaban. Terj. Abad Badruzzaman. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2001.
Shihab, Quraish, M. Membumikan al-Qur’an.
Mizan. Bandung. 2004.
_______________. Wawasan al-Qur’an.
Mizan. Bandung. 2001.
Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif
Pemikiran Islam. Lintas Pustaka. Jakarta. 2006.
H. Abuddin Nata, MA. Tafsir Ayat-Ayat
Pendidikan (Tafsir Al Ayat Al-Tarbawiy). PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
2002.
[1] Hery Noer Aly & Munzier Suparta, Pendidikan
Islam Kini dan Mendatang, (Jakarta: CV. Triasco, 2003), h. 109.
[2] M. Qusraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,
(Bandung: Mizan, 2001), h. 433.
[3] ________________, Membumikan al-Qur’an,
(Bandung: Mizan, 2004), h. 168.
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung:
Mizan, 2001), h. 436.
[5] Ibid, h. 442.
[6] Lihat Yusuf
al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad
Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 117-121.
0 comments:
Post a Comment