lagu

ikut

Monday, December 28, 2015

Tahlil (hallala yuhallilu)



Tahlil adalah sarana masyarakat sebagai memperingati acara yang sakral
ARTIKEL
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Bpk. Manijo



Disusun Oleh:
Muchamad Abdurrochman Luthfi (1410210029)



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH  /  PENDIDIKAN BAHASA ARAB
TAHUN 2015
Unsur spiritual sebagai benteng peradaban islam
Tahlil adalah sarana masyarakat sebagai memperingati acara yang sacral
Setiap makhluk yang hidup pasti akan mengalami kematian atau ajal, hal ini merupakan satu ketentuan dari Allah SWT yang tidak bisa diubah lagi, adapun waktunya adalah tidak ada yang mengetahui selain dari pada Allah SWT.
Salah satu perbedaan yang menonjol tentang meninggalnya makhluk hidup adalah meninggalnya manusia dibanding hewan dan tumbuhan. Meninggalnya manusia perlu adanya proses dari proses dimandikan, dikafani, dishalatkan, dikuburkan yang dilengkapi dengan do’a-do’a, di antaranya adalah do’a ketika ditimpa musibah (bala) atau mendengar orang yang yang ditimpa musibah yaitu dengan membacakan kalimat “Inna lillahi wa inna ilaiji raji’uun”, yang artinya : sesungguhnya kita kepunyaan Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya. Selain do’a tersebut sering juga dibacakan do’a Allahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa fuanhu yang artinya : ya Allah ampunilah dia, kasihanilah dia dan maafkanlah dia.[1]
Penyampaian do’a-do’a untuk orang yang meninggal ada yang dilakukan secara perorangan ataupun sercara bersama-sama (tahlilan).
Pengertian tahlil secara umum, tahlil secara bahasa berarti berizikir dengan mengucap kalimat tauhid "Laa ilaaha illallah" (tiada yang patut disembah kecuali Allah).Tahlilan adalah ritual/upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.

1.      Metodologi
Warisan masa lalu setelah zaman Nabi yang mengandung kebaikan sudah menjadi tradisi. Para sahabat Nabi dan generasi muslim setelahnya banyak melakukan hal-hal baru (yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah) yang baik dalam agama. Mereka menerima hal itu dan tidak pernah mengingkarinya. Tahlil adalah salah satu yang harus mereka lakukan. Tradisi ini dianggap baik oleh pengikutnya. Jelasnya, warisan yang mengandung unsur kebaikan harus diikuti dan diwariskan. Ini sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi:
“Man tsanna fiil Islami sunnatan hasanatan falahu ajruhaa wa ajru man ‘amila min ba’dihi”.
         Artinya: “Barang siapa yang merintis (memulai) dalam Islam perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang setelahnya yang melakukan perbuatan baik tersebut” (H.R. Muslim).[2]
2.      Analisis
            Tahlilan dilatarbelakangi oleh warisan budaya dari masa lalu yang menjadi tradisi. Tradisi yang dianggap baik dan diyakini kebenarannya.[3] Tradisi seperti ini lahir karena perlu dimaklumi, bahwa Nahdlatul Ulama (NU) lahir di Jawa, di tengah-tengah masyarakat Jawa yang kaya tradisi, kaya nilai budaya, dari Gamelan Jawa sampai Mistisisme Jawa, padahal misi dakwahnya adalah menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat.Yang menarik perhatian NU adalah cara-cara yang dipakai oleh Wali Songo, cara damai, cultural, berangsur-angsur, populis (merakyat), tapi efektif dan juga dinamis (dalam arti terus berkembang maju), dengan motto: Melestarikan kebaikan yang lama dan mengambil inovasi yang baru.
            Maka beberapa tradisi baik yang diwariskan contohnya seperti kegiatan tahlilan. Semuanya itu dipandang dan dijadikan media berkomunikasi dengan warga (umat) dan sarana pembinaan keberdayaan umat.
            Memang dakwah Islam di Indonesia pada masa awalnya lebih banyak mengakomodasi tradisi masyarakat dan budaya masyarakat lokal, sambil meng-internalisasi (menanamkan) nilai-nilai Islam dipandang sangat fundamental, seperti memperkenalkan Allah sebagai Tuhan yang berhak disembah, memperkenalkan akhlak Islamiyah  yang dinilai mendasar, seperti “birru al-walidain” (berbuat bakti kepada orang tua). Dengan demikian mewariskan tradisi yang bernilai baik dan tidak bertentangan dengan kaidah Islam itu sendiri sangat berkaitan erat dengan misi Islam sebagai agama “Rahmatan li al-‘alamin” (rahmat untuk semua alam).[4]
            Ritual Bacaan yang dilafalkan ketika kegiatan tahlil berlangsung sangat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Kiranya tidak masalah apabila teks dan gayanya pun sangat bervariasi. Secara umum, dalam kegiatan tahlil bacaan yang dibawakan antara lain surat al-Fatihah, surat al-Ikhlas, surat al-Muawwidzatain yaitu sutah al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nass, permulaan dan akhiran surat al-Baqarah, ayat kursi, istighfar, tahlil (laa ilaaha illa Allah), tasbih (subhana Allah wa bihamdihi subhana Allah al-adhim), shalawat nabi dan do’a.[5]
         Mengingat dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang maka selanjutnya acara itu biasa dikenal dengan istilah tahlilan.  
            Tahlilan dari susunan bacaannya terdiri dari dua unsur yang disebut dengan syarat dan rukun, yang dimaksud dengan syarat ialah bacaan :
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5   الم ذلك الكتاب .......
5. Surat al-Baqarah ayat 163   والهكم إله واحد ........
6. Surat al-Baqarah ayat 255   الله لاإله إلا هو الحي القيوم ........
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286   لله مافي السموات ......
8. Surat al-Ahzab ayat 33  إنما يريد الله ........
9. Surat al-Ahzab ayat 56  إن الله وملائكته يصلون على النبي ........
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih
            Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan :
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan :  واعف عنا واغفر لنا وارحمنا 
2. Surat al-Hud ayat 73:  ارحمنا ياأرحم الراحمين
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah   لاإله إلاالله
6. Tasbih.[6]

3.      Asal – Usul
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, telah ada berbagai kepercayaan yang di anut oleh sebagian besar penduduk tanah air ini, di antara keyakinan – keyakinan yang mendominasi saat itu adalah animisme dan dinamisme. Di antara mereka meyakini bahwa arwah yang telah dicabut dari jasadnya akan gentayangan di sekitar rumah selam tujuh hari, kemudian setelahnya akan meninggalkan tempat tersebut dan akan kembali pada hari ke empat puluh, hari keseratus dan hari keseribunya atau mereka mereka meyakini bahwa arwah akan datang setiap tanggal dan bulan dimana dia meninggal ia akan kembali ke tempat tersebut, dan keyakinan seperti ini masih melekat kuat di hati kalangan awan di tanah air ini sampai hari ini.
Upacara tahlilan ditengarai merupakan praktik pada abad-abad transisi yang dilakukan oleh masyarakat yang baru memeluk Islam, tetapi tidak dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang lama. Berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit bukan hanya terjadi pada masyarakat pra Islam di Indonesia saja, tetapi di berbagai belahan dunia, termasuk di jazirah Arab. Oleh para da'i(yang dikenal wali songo) pada waktu itu, ritual yang lama diubah menjadi ritual yang bernafaskan Islam. Di Indonesia, tahlilan masih membudaya, sehingga istilah "Tahlilan" dikonotasikan memperingati dan mendo'akan orang yang sudah meninggal. tahlilan dilakukan bukan sekadar kumpul-kumpul karena kebiasaan zaman dulu. Generasi sekarang tidak lagi merasa perlu dan sempat untuk melakukan kegiatan sekadar kumpul-kumpul seperti itu. jika pun tahlilan masih diselenggarakan sampai sekarang, itu karena setiap anak pasti menginginkan orangtuanya yang meninggal masuk sorga. sebagaimana diketahui oleh semua kaum muslim, bahwa anak saleh yang berdoa untuk orangtuanya adalah impian semua orang, oleh karena itu setiap orangtua menginginkan anaknya menjadi orang yang saleh dan mendoakan mereka. dari sinilah, keluarga mendoakan mayit, dan beberapa keluarga merasa lebih senang jika mendoakan orangtua mereka yang meninggal dilakukan oleh lebih banyak orang(berjama'ah). maka diundanglah orang-orang untuk itu, dan menyuguhkan(sodaqoh) sekadar suguhan kecil bukanlah hal yang aneh, apalagi tabu, apalagi haram. suguhan(sodaqoh) itu hanya berkaitan dengan menghargai tamu yang mereka undang sendiri. maka, jika ada anak yang tidak ingin atau tidak senang mendoakan orangtuanya, maka dia (atau keluarganya) tidak akan melakukannya, dan itu tidak berakibat hukum syareat. tidak makruh juga tidak haram. anak seperti ini pasti juga orang yang yang tidak ingin didoakan jika dia telah mati kelak.
Kegiatan ini bukan kegiatan yang diwajibkan. orang boleh melakukannya atau tidak. tahlilan bukanlah kewajiban, dan adalah dusta dan mengada-ada jika tahlilan ini dihitung sebagai rukun. tahlilan adalah pilihan bebas bagi setiap orang dan keluarga berkaitan dengan keinginan mendoakan orangtua mereka ataukah tidak. tahlilan juga bukanlah kegiatan yang harus dilakukan secara berkumpul-kumpul di rumah duka dan oleh karenanya dituduhkan membebani tuan rumah. tahlilan itu mendoakan mayit dan itu bisa dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaah, di satu tempat yang sama atau di mana-mana. menuduhkan tahlil sebagai bid'ah adalah mengada-ada dan melawan keyakinan kaum muslim bahwa anak saleh yang berdoa untuk orangtuanya adalah cita-cita setiap orang.

DAFTAR PUSTAKA
Syahamah, Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, (2005, Syahamah Press: Jakarta).
Hidayah. Budaya Islam: Tahlil. Edisi 39. Jakarta: PT. Variapop Group. Oktober 2004.

KH. Muhyidin Abdus Shomad, Tahlilan dalam Perspektif Al Qur’an dan Assunnah  , ( Jember: PP. Nurul Islam, 2005)
Hasan, Muhammad Tholhah. Alussunnah Wal-Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU. :Jakarta: Lantabora Press, 2005.
Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad Dimasqi, Tafsir Ibnu Katsir, ( Bandung: Sinar Baru Al Bensido, 2005 )




[1] Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad Dimasqi, Tafsir Ibnu Katsir, ( Bandung: Sinar Baru Al Bensido, 2005 )
[2] Syahamah, Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, (2005, Syahamah Press: Jakarta), hal. 97-99
[3] Hidayah, Budaya Islam: Tahlil, (2004, PT. Variapop Group: Jakarta), hal. 108-109
[4] Muhammad Tholhah Hasan, Alussunnah Wal-Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (2005, Lantabora Press: Jakarta), hal.214-215
[5] Hidayah, Ibid. hal.108-109

0 comments:

Post a Comment

Keluarga

Keluarga
Jejak Ora Normal

keluarga

keluarga
Je Ow En