ARTIKEL
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata
Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Dosen
Pengampu : Bpk. Manijo
Disusun Oleh:
Muchamad Abdurrochman Luthfi (1410210029)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PENDIDIKAN BAHASA ARAB
TAHUN
2015
Unsur
spiritual sebagai benteng peradaban islam
Tahlil
adalah sarana masyarakat sebagai memperingati acara yang sacral
Setiap
makhluk yang hidup pasti akan mengalami kematian atau ajal, hal ini merupakan
satu ketentuan dari Allah SWT yang tidak bisa diubah lagi, adapun waktunya
adalah tidak ada yang mengetahui selain dari pada Allah SWT.
Salah
satu perbedaan yang menonjol tentang meninggalnya makhluk hidup adalah
meninggalnya manusia dibanding hewan dan tumbuhan. Meninggalnya manusia perlu
adanya proses dari proses dimandikan, dikafani, dishalatkan, dikuburkan yang
dilengkapi dengan do’a-do’a, di antaranya adalah do’a ketika ditimpa musibah
(bala) atau mendengar orang yang yang ditimpa musibah yaitu dengan membacakan
kalimat “Inna lillahi wa inna ilaiji raji’uun”, yang artinya : sesungguhnya kita kepunyaan Allah dan sesungguhnya kita
akan kembali kepada-Nya. Selain do’a tersebut sering juga dibacakan
do’a “Allahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa
fuanhu” yang artinya : ya Allah
ampunilah dia, kasihanilah dia dan maafkanlah dia.[1]
Penyampaian
do’a-do’a untuk orang yang meninggal ada yang dilakukan secara perorangan
ataupun sercara bersama-sama (tahlilan).
Pengertian
tahlil secara umum, tahlil secara bahasa berarti berizikir dengan mengucap kalimat
tauhid "Laa ilaaha illallah" (tiada yang patut disembah kecuali
Allah).Tahlilan adalah ritual/upacara selamatan yang
dilakukan sebagian umat Islam,
kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan
mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga
hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada
hari ke-1000.
1. Metodologi
Warisan
masa lalu setelah zaman Nabi yang mengandung kebaikan sudah menjadi tradisi.
Para sahabat Nabi dan generasi muslim setelahnya banyak melakukan hal-hal baru
(yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah) yang baik dalam agama. Mereka
menerima hal itu dan tidak pernah mengingkarinya. Tahlil adalah salah
satu yang harus mereka lakukan. Tradisi ini dianggap baik oleh pengikutnya.
Jelasnya, warisan yang mengandung unsur kebaikan harus diikuti dan diwariskan.
Ini sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi:
“Man tsanna fiil Islami sunnatan
hasanatan falahu ajruhaa wa ajru man ‘amila min ba’dihi”.
Artinya: “Barang siapa yang merintis (memulai) dalam Islam perbuatan yang
baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang setelahnya yang
melakukan perbuatan baik tersebut” (H.R. Muslim).[2]
2.
Analisis
Tahlilan dilatarbelakangi oleh warisan budaya dari masa lalu yang
menjadi tradisi. Tradisi yang dianggap baik dan diyakini kebenarannya.[3]
Tradisi seperti ini lahir karena perlu dimaklumi, bahwa Nahdlatul Ulama (NU)
lahir di Jawa, di tengah-tengah masyarakat Jawa yang kaya tradisi, kaya nilai
budaya, dari Gamelan Jawa sampai Mistisisme Jawa, padahal misi dakwahnya adalah
menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat.Yang menarik perhatian NU adalah
cara-cara yang dipakai oleh Wali Songo, cara damai, cultural, berangsur-angsur,
populis (merakyat), tapi efektif dan juga dinamis (dalam arti terus berkembang
maju), dengan motto: Melestarikan kebaikan yang lama dan mengambil inovasi
yang baru.
Maka beberapa tradisi baik yang diwariskan contohnya seperti kegiatan tahlilan.
Semuanya itu dipandang dan dijadikan media berkomunikasi dengan warga (umat)
dan sarana pembinaan keberdayaan umat.
Memang dakwah Islam di Indonesia pada masa awalnya lebih banyak mengakomodasi
tradisi masyarakat dan budaya masyarakat lokal, sambil meng-internalisasi
(menanamkan) nilai-nilai Islam dipandang sangat fundamental, seperti
memperkenalkan Allah sebagai Tuhan yang berhak disembah, memperkenalkan akhlak
Islamiyah yang dinilai mendasar, seperti “birru al-walidain”
(berbuat bakti kepada orang tua). Dengan demikian mewariskan tradisi yang
bernilai baik dan tidak bertentangan dengan kaidah Islam itu sendiri sangat
berkaitan erat dengan misi Islam sebagai agama “Rahmatan li al-‘alamin” (rahmat
untuk semua alam).[4]
Ritual Bacaan yang dilafalkan ketika kegiatan tahlil berlangsung
sangat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Kiranya tidak masalah
apabila teks dan gayanya pun sangat bervariasi. Secara umum, dalam kegiatan
tahlil bacaan yang dibawakan antara lain surat al-Fatihah, surat al-Ikhlas,
surat al-Muawwidzatain yaitu sutah al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nass, permulaan
dan akhiran surat al-Baqarah, ayat kursi, istighfar, tahlil (laa ilaaha illa
Allah), tasbih (subhana Allah wa bihamdihi subhana Allah al-adhim), shalawat
nabi dan do’a.[5]
Mengingat
dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang maka
selanjutnya acara itu biasa dikenal dengan istilah tahlilan.
Tahlilan dari susunan bacaannya
terdiri dari dua unsur yang disebut dengan syarat dan rukun, yang dimaksud
dengan syarat ialah bacaan :
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 الم ذلك الكتاب .......
5. Surat al-Baqarah ayat 163 والهكم إله واحد ........
6. Surat al-Baqarah ayat 255 الله لاإله إلا هو الحي القيوم ........
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286 لله مافي السموات ......
8. Surat al-Ahzab ayat 33 إنما يريد الله ........
9. Surat al-Ahzab ayat 56 إن الله وملائكته يصلون على النبي ........
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih
Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan :
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan : واعف عنا واغفر لنا وارحمنا
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 الم ذلك الكتاب .......
5. Surat al-Baqarah ayat 163 والهكم إله واحد ........
6. Surat al-Baqarah ayat 255 الله لاإله إلا هو الحي القيوم ........
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286 لله مافي السموات ......
8. Surat al-Ahzab ayat 33 إنما يريد الله ........
9. Surat al-Ahzab ayat 56 إن الله وملائكته يصلون على النبي ........
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih
Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan :
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan : واعف عنا واغفر لنا وارحمنا
2. Surat al-Hud
ayat 73: ارحمنا ياأرحم الراحمين
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah لاإله إلاالله
6. Tasbih.[6]
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah لاإله إلاالله
6. Tasbih.[6]
3. Asal – Usul
Sebelum
Islam masuk ke Indonesia, telah ada berbagai kepercayaan yang di anut oleh
sebagian besar penduduk tanah air ini, di antara keyakinan – keyakinan yang
mendominasi saat itu adalah animisme dan dinamisme. Di antara mereka meyakini
bahwa arwah yang telah dicabut dari jasadnya akan gentayangan di sekitar rumah
selam tujuh hari, kemudian setelahnya akan meninggalkan tempat tersebut dan
akan kembali pada hari ke empat puluh, hari keseratus dan hari keseribunya atau
mereka mereka meyakini bahwa arwah akan datang setiap tanggal dan bulan dimana
dia meninggal ia akan kembali ke tempat tersebut, dan keyakinan seperti ini
masih melekat kuat di hati kalangan awan di tanah air ini sampai hari ini.
Upacara tahlilan ditengarai merupakan praktik
pada abad-abad transisi yang dilakukan oleh masyarakat yang baru memeluk Islam,
tetapi tidak dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang lama. Berkumpul-kumpul di
rumah ahli mayit bukan hanya terjadi pada masyarakat pra Islam di Indonesia
saja, tetapi di berbagai belahan dunia, termasuk di jazirah Arab. Oleh para
da'i(yang dikenal wali songo) pada waktu itu, ritual yang lama diubah menjadi
ritual yang bernafaskan Islam. Di Indonesia, tahlilan masih membudaya, sehingga
istilah "Tahlilan" dikonotasikan memperingati dan mendo'akan orang
yang sudah meninggal. tahlilan dilakukan bukan sekadar kumpul-kumpul karena
kebiasaan zaman dulu. Generasi sekarang tidak lagi merasa perlu dan sempat
untuk melakukan kegiatan sekadar kumpul-kumpul seperti itu. jika pun tahlilan
masih diselenggarakan sampai sekarang, itu karena setiap anak pasti
menginginkan orangtuanya yang meninggal masuk sorga. sebagaimana diketahui oleh
semua kaum muslim, bahwa anak saleh yang berdoa untuk orangtuanya adalah impian
semua orang, oleh karena itu setiap orangtua menginginkan anaknya menjadi orang
yang saleh dan mendoakan mereka. dari sinilah, keluarga mendoakan mayit, dan
beberapa keluarga merasa lebih senang jika mendoakan orangtua mereka yang
meninggal dilakukan oleh lebih banyak orang(berjama'ah). maka diundanglah
orang-orang untuk itu, dan menyuguhkan(sodaqoh) sekadar suguhan kecil bukanlah
hal yang aneh, apalagi tabu, apalagi haram. suguhan(sodaqoh) itu hanya
berkaitan dengan menghargai tamu yang mereka undang sendiri. maka, jika ada
anak yang tidak ingin atau tidak senang mendoakan orangtuanya, maka dia (atau
keluarganya) tidak akan melakukannya, dan itu tidak berakibat hukum syareat.
tidak makruh juga tidak haram. anak seperti ini pasti juga orang yang yang
tidak ingin didoakan jika dia telah mati kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Syahamah, Aqidah Ahlussunnah Wal
Jama’ah, (2005, Syahamah Press: Jakarta).
Hidayah. Budaya Islam: Tahlil.
Edisi 39. Jakarta: PT. Variapop Group. Oktober 2004.
KH. Muhyidin Abdus Shomad, Tahlilan dalam Perspektif Al Qur’an dan Assunnah , ( Jember: PP. Nurul Islam, 2005)
Hasan, Muhammad Tholhah. Alussunnah
Wal-Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU. :Jakarta: Lantabora Press, 2005.
Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir
Ad Dimasqi, Tafsir Ibnu Katsir, ( Bandung: Sinar Baru Al Bensido, 2005 )
Pengurus besar NU, http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/10/18326. Ubudiyyah:
Susunan_Bacaan Tahlil.
05/12/2015, 23:02.
[1] Al
Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad Dimasqi, Tafsir Ibnu Katsir, ( Bandung:
Sinar Baru Al Bensido, 2005 )
[2] Syahamah,
Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, (2005, Syahamah Press: Jakarta), hal.
97-99
[3]
Hidayah, Budaya Islam: Tahlil,
(2004, PT. Variapop Group: Jakarta), hal. 108-109
[4]
Muhammad Tholhah Hasan, Alussunnah
Wal-Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (2005, Lantabora Press:
Jakarta), hal.214-215
[5] Hidayah, Ibid. hal.108-109
[6]
Pengurus besar NU, http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/10/18326/Ubudiyyah/
Susunan_Bacaan_Tahlil.html, (28/07/2009
11:02)
0 comments:
Post a Comment