lagu

ikut

Monday, May 9, 2016

Ilmu Pendidikan Islam Metode Sunan Kalijaga



ILMU PENDIDIKAN ISLAM MENGGUNAKAN METODE DAKWAH SUNAN KALIJAGA

I.                   PENDAHULUAN

Pendidikan sebagai suatu proses dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, sebagaimana tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Dengan demikian pendidikan pada hakikatnya adalah rangkaian bimbingan dan pengarahan hidup manusia berupa kemampuan-kemampuan dasar (potensi fitrah) dan kemampuan ajar (Intervensi), sehingga terjadi perubahan dalam kehidupan pribadinya baik dalam statusnya sebagai makhluk individu sosial serta hubungannya dengan alam sekitar dimana ia hidup (M. Arifin, 1994 : 14). Proses tersebut senantiasa harus berada dalam nilai-nilai Islam yaitu nilai-nilai yang melahirkan normanorma Syari’at dan Akhlaq al Karimah.

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia, baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, dan alam semesta. Berdasarkan konsep pendidikan islam, salah satu yang menyebarkan  di Indonesia adalah walisongo.[1][1]

Walisongo berarti sembilan wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila bukan ikatan darah pasti dalam hubungan guru-murid. Mereka tinggal di pantai uatara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gersik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.

Tokoh wali yang sangat banyak mengandung misteri adalah Sunan Kalijaga. Ia salah seorang wali yang mulus berdarah Jawa. Bapaknya bernama Ari Teja, perdana Menteri Majapahit pada masa Bhre Kertabumi Brawijaya V, yang juga menjabat adipaati di Tuban dengan gelar Ki Tumenggung Wilwatika. Sebagai penyeru agama, Sunan Kalijaga termasyur ke mana-mana. Ia seorang mubalig keliling yang daerah operasinya sangat luas. Pengikutnya tidak terbatas pada satu dua golongan saja. Banyak kaum bangsawan serta kaum cendikiawan yang tertarik kepada tablignya, karena dalam berdakwah ia amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan. Ia berusha mengawinkan adat istiadat Jawa dengan kebudayan Islam, dan menjadikannya media untuk meluaskan syiar Islam. Dalam kisah kewalian, Sunan Kalijaga dikenal sebagai orang yang menciptakan “pakaian takwa”, tembang-temang Jawa, seni memperingati Maulid Nabi yang telah dikenal dengan sebutan Grebed Mulud. Upacara Sekaten (syahadatain, mengucapkan dua kalimat syahadat) yang dilakukan setiap tahun untuk mengajak orang Jawa masuk Islam adalah ciptaannya (Achmad Chodjim, 2003 : 13).
           
II.                SEJARAH

Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1455. Beliau diberi nama Raden Mas Said atau yang bergelar “Sunan Kalijaga” yang merupakan putra dari Ki Tumenggung Wilatikta yaitu Bupati Tuban. Dan ada pula yang mengatakan bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sahur Tumenggung Wilatikta. Selain mempunyai anak Sunan Kalijaga, beliau juga mempunyai putri yang bernama Dewi Roso Wulan.

Saat Sunan Kalijaga masih kecil, beliau sudah merasakan dan melihat lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada ayahnya mengenai hal tersebut, yang dijawab oleh ayahnya bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 kali ditangannya dan disekap beberapa hari oleh ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia di usir oleh ayahnya dari Kadipaten. Akhirnya ia pun pergi, tinggal di hutan Jadiwangi dan menjadi perampok orang-orang kaya dan berjuluk Brandal Lokajaya. Selain gelar tersebut sebenarnya Sunan Kalijaga juga mempunyai nama-nama lain seperti R. Abdurrahman, Syeh Malaya, Pangeran Tuban serta Jogoboyo.

Pada suatu hari di dalam hutan Jadiwangi itu Sunan Bonang sedang lewat, kemudian ia dihadang dan hendak dirampok. Sunan Bonang berkata pada Sunan Kalijaga, “kelak, kalau ada orang lewat disini, memakai pakaian serba hitam, serta berselendang bunga wora-wari merah, ini sebaiknya rampoklah”. Raden Said menuruti, Sunan Bonang dibebaskan. Kira-kira tiga hari kemudian orang yang ditunggu-tunggu lewat di tempat itu. Raden Said siap menghadang orang itu. Pakaiannya serba hitam, berselendang bunga wora-wari merah. Setelah dihentikan oleh Raden Said, Sunan Bonang berubah menjadi empat. Raden Said ketakutan melihat kejadian itu dan berjanji pada Sunan Bonang untuk mengakhiri perbuatan nistanya itu. Kemudian ia bertapa dua tahun, karena beliau taat pada Sunan Bonang. Setelah bertapa Raden Said pindah ke Cirebon. Disitu beliau bertapa lagi di pinggir kali, bernama Kalijaga. Dari sinilah sejarahnya kenapa beliau bergelar “Sunan Kalijaga”. Lama kelamaan kemudian beliau diambil ipar oleh Sunan Gunung Jati.
Beliau menikah dengan dewi Sarokah dan mempunyai 5 (lima) anak, yaitu:
1. Kanjeng Ratu Pembayun yang menjadi istri Raden Trenggono (Demak)
2. Nyai Ageng Penenggak yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar
3. Sunan Hadi (yang menjadi panembahan kali) menggantikan Sunan Kaijaga sebagai kepala Perdikan Kadilangu.
4. Raden Abdurrahman
5. Nyai Ageng Ngerang.

Dalam suatu cerita dikatakan bahwa Sunan Kalijaga pernah juga menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga mempunyai tiga orang putra, masing-masing ialah:
1. Raden Umar Said (Sunan Muria)
2. Dewi Ruqoyah
3. Dewi Sofiyah

Nama Kalijaga menurut setengah riwayat, dikatakan berasal dari rangkaian bahasa Arab “Qadli Zaka”, Qadli artinya pelaksana, penghulu: sedangkan Zaka artinya membersihkan. Jadi Qadlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya adalah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian, ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1479), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga kerajaan panjang yang lahir pada 1541 serta awal kehadiran kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.

III.             Metode pendidikan

Diantara para Wali Sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi. daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (reizendle mubaligh). jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh pada kaum ningrat dan sarjana . Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. karena caranya beliau menyiarkan agama islam yang disesuaikan dengan aliran jaman, Sunan Kalijaga adalah adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam. Semasa hidupnya, sunan kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengaran cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan, dalam cerita-cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an,. hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, ataupun dengan kata lain, masyarakat masih memagang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.

Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh untuk memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam assimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengambangkan Agama Islam di sini. Sunan Kalijaga, namanya hingga kini masih tetap harum serta dikenang oleh seluruh lapisan masyrakat dari yang atas sampai yang bawah. hal ini adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu benar-benar manusia besar jiwanya, dan besar pula jasanya. sebagai pujangga, telah banyak mengarang berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni lukis yang bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid. disamping itu pula beliau berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan wayang kulit yang ada sekarang ini.
             
Sunan Kalijaga adalah pengarang dari kitab-kitab cerita-cerita wayang yang dramatis serta diberi jiwa agama, banyak cerita-cerita yang dibuatnya yang isinya menggambarkan ethik ke-Islam-an, kesusilaan dalam hidup sepanjang tuntunan dan ajaran Islam , hanya diselipkan ke dalam cerita kewayangan. oleh karena Sunan Kalijaga mengetahui, bahwa pada waktu itu keadaan masyarakat menghendaki yang sedemikian, maka taktik perjuangan beliaupun disesuaikannya pula dengan keadaan ruang dan waktu. Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama syiwa budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali kiranya apabila dalam memperkembangkan agama islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana. para wali termasuk didalamnya Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali kepada kesenian dan kebudayaan mereka, diantaranya masih gemar kepada gemalan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha .

Maka setelah diadakan permusyawaratan para wali, dapat diketemukan suatu cara yang lebih supel, dengan maksud untuk meng-Islam-kan orang-orang yang belum masuk Islam. cara itu diketemukan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang yang terkenal berjiwa besar, dan berpandangan jauh,berfikiran tajam, serta berasal dari suku jawa asli. disamping itu beliau juga ahli seni dan faham pula akan gamelan serta gending-gending (lagu-lagunya). Maka dipesanlah oleh Sunan Kalijaga kepada ahli gamelan untuk membuatkan serancak gamelan, yang kemudian diberinya nama kyai sekati. hal itu adalah dimaksudkan untuk memperkembangkan Agama Islam.

Menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudan konperensi besar para wali, diserambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (Bhs. Jawa Terbangan) menurut irama seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam fikiran masyarakat jawa. maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan diatas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasai beraneka macam bungan-bungaan yang indah. gapura mashidpun dihiasinya pula, sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung ke sana, gamelan itupun kemudian dipukulinya betalu-talu dengan tiada henti-hentinya. Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang sangat menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertaik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang ditabuh, artinya dibunyikan itu. dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid, akan tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di kolas masjid melalui pintu gapura. upacara yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura (dari Bahasa Arab Ghapura) maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.

Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit) seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat. dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan kalijaga (periode demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam. sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. di dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata : “quu” dan “qilla” atau “quuqiila”, yang artinya “peliharalah ucapan (mulut)-mu. Hal mana dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila atau burung itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan mengajar kepada kita, agar selalu baik tutur katanya, inilah diantaranya jasa sunan kalijaga dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini dibuatnya model baju kaum pria yang diberinya nama baju “takwo”, nama tersebut berasal berasal dari kata bahasa arab “taqwa” yang artinya ta’at serta berbakti kepada Allah SWT.

Nama yang simbolik sifatnya ini, dimaksudkan untuk mendidik kita agar supaya selalu cara hidup dan kehidupan kita sesuai dengan tuntunan agama. Nama Kalijaga menurut setengah riwayat , dikatakan berasal dari rangkaian Bahasa Arab ‘ Qadli Zaka, Qadli – artinya pelaksana, penghulu : sedangkan Zaka – artinya membersihkan. jadi Qodlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya ialah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Sunan Kalijaga juga membuat syair yang penuh makna dan masih terkenal sampai sekarang. Hampir semua orang pernah mendengar syair tersebut, syair itu berjudul Lir Ilir. Bukan sekedar Syair dolanan .. tapi lagu penuh makna mendalam. Tidak untuk dinikmati syair dan nadanya semata, tapi yang lebih penting adalah untuk direnungkan dan dicontoh penyeruannya. Berikut adalah Syair Lir ilir beserta maknanya.
Lir Ilir
Lir-ilir, lir-ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jrumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo
Terjemahan bahasa Indonesia dari syair diatas kira-kira adalah demikian:
Ayo bangun (dari tidur), tanam-tanaman sudah mulai bersemi,
demikian menghijau terlihat bagaikan pengantin baru
Wahai gembala, ambillah buah blimbing itu,
walaupun licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang telah koyak sisihkanlah
Jahit dan benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung sedang terang bulan, mumpung sedang banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo…
              
Hijau adalah warna perlambang agama Islam yang saat itu kemunculannya bagaikan pengantin baru dan sangat menarik hati. Hijau juga berarti pertumbuhan dan kemudaan. Syair di atas tidak menuliskan: “Wahai Raja”, "Ulama, Ulama", "Pak Jendral, Pak Jendral", "Intelektual, Intelektual" atau apapun lainnya, melainkan "Bocah Angon, Bocah Angon...". Ini menunjukkan bahwa syair ini ditujukan juga bagi wong cilik, orang kebanyakan. Karena sesungguhnya orang kebanyakan pun mempunyai tanggungjawab atau amanah sendiri-sendiri. Kullukum roin wa kullukum mas’ulum ‘an roiyatih. Ro’in sendiri dalam bahasa arab biasa diartikan sebagai gembala. Masa kecil Rasullah juga seorang gembala. Orang kecil yang mempunyai amanah yang membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Harus dipanjat dengan hati-hati untuk memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan dan diperebutkan. Ini menjaga kelangsungan dari berkah sang pohon blimbing agar tetap bisa memberikan buahnya di masa yang akan datang. Air perasan blimbing jaman dahulu biasa digunakan ibu-ibu untuk mencuci pakaian yang kotornya berlebihan. Karena mengandung sifat asam kuat maka baju yang dicuci dengan air blimbing dapat menjadi bersih kembali seperti baru .


Dodot adalah jenis pakaian tradisional Jawa yang sering dipakai pembesar jaman dulu. Bagi masyarakat Jawa, agama adalah ibarat pakaian, maka dodot dipakai sebagai lambang agama atau kepercayaan. Pakaian juga berarti perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan jiwa adalah perhiasan takwa. (fa ta zawwaduu fa inna khoiro zaadi taqwa). Pakaian adalah akhlak, pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Pakaian adalah rasa malu, harga diri, kepribadian, tanggung jawab. Pakaianmu, (yaitu) agamamu atau akhlakmu sudah rusak maka jahitlah (perbaiki). Rusak di pinggir-pinggir artinya bukan rusak total tetapi kurang sempurna. Jadi syair ini menuntun kita untuk menyempurnakan agama dengan keimanan dan ketakwaan yang sempurna pula. Udkhuluu fi silmi kaaffah. Jika engkau melanggar atau mengkhianati amanat, tugas dan fungsimu, maka sesungguhnya engkau sedang menelanjangi dirimu sendiri. Menghinakan diri sendiri. Pakaian yang robek-robek ini perlu diperbaiki sebagai bekal menghadap Robbmu yang Maha sempurna. Maka dondomono, jlumatono, jahitlah robekan-robekan itu, utuhkan kembali, tegakkan harkat yang selama compang-camping oleh maksiat yang masih dilakukan. Selagi ada cahaya terang yang menuntunmu, selagi masih hidup dan masih ada kesempatan bertobat. Bersemangat dan optimislah. Selagi hidayah Allah masih bisa diraih. Bergembiralah, semoga kalian mendapat anugerah dari Alloh .
DAFTAR PUSTAKA
Soekirno, Ade. 1997.” Sunan Kalijogo”. Grasindo: Jakarta.
Saksono, Widji. 1994. “Mengislamkan Tanah Jawa (Telaah atas Metode Dakwah WaliSongo)”. MIZAN: Yogyakarta.
Haidar Putera Daulay, Pemberdayaan Pendidikanislam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009).



[1][1] Haidar Putera Daulay, Pemberdayaan Pendidikanislam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.6.

Keluarga

Keluarga
Jejak Ora Normal

keluarga

keluarga
Je Ow En