ILMU PENDIDIKAN ISLAM MENGGUNAKAN METODE DAKWAH
SUNAN KALIJAGA
I.
PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai suatu proses dalam pandangan filsafat
pendidikan Islam, sebagaimana tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan dengan
fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Dengan demikian pendidikan
pada hakikatnya adalah rangkaian bimbingan dan pengarahan hidup manusia berupa
kemampuan-kemampuan dasar (potensi fitrah) dan kemampuan ajar (Intervensi),
sehingga terjadi perubahan dalam kehidupan pribadinya baik dalam statusnya
sebagai makhluk individu sosial serta hubungannya dengan alam sekitar dimana ia
hidup (M. Arifin, 1994 : 14). Proses tersebut senantiasa harus berada dalam
nilai-nilai Islam yaitu nilai-nilai yang melahirkan normanorma Syari’at dan
Akhlaq al Karimah.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi
muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia, baik yang berbentuk
jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap
pribadi manusia dengan Allah, dan alam semesta. Berdasarkan konsep pendidikan
islam, salah satu yang menyebarkan di
Indonesia adalah walisongo.[1][1]
Walisongo berarti sembilan wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus,
Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis
bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila bukan ikatan
darah pasti dalam hubungan guru-murid.
Mereka tinggal di pantai uatara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan
abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gersik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Tokoh wali yang sangat banyak
mengandung misteri adalah Sunan Kalijaga. Ia salah seorang wali yang mulus
berdarah Jawa. Bapaknya bernama Ari Teja, perdana Menteri Majapahit pada masa
Bhre Kertabumi Brawijaya V, yang juga menjabat adipaati di Tuban dengan gelar
Ki Tumenggung Wilwatika. Sebagai penyeru agama, Sunan Kalijaga termasyur ke
mana-mana. Ia seorang mubalig keliling yang daerah operasinya sangat luas.
Pengikutnya tidak terbatas pada satu dua golongan saja. Banyak kaum bangsawan
serta kaum cendikiawan yang tertarik kepada tablignya, karena dalam berdakwah
ia amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan. Ia berusha mengawinkan adat
istiadat Jawa dengan kebudayan Islam, dan menjadikannya media untuk meluaskan
syiar Islam. Dalam kisah kewalian, Sunan Kalijaga dikenal sebagai orang yang
menciptakan “pakaian takwa”, tembang-temang Jawa, seni memperingati Maulid Nabi
yang telah dikenal dengan sebutan Grebed Mulud. Upacara Sekaten (syahadatain,
mengucapkan dua kalimat syahadat) yang dilakukan setiap tahun untuk mengajak
orang Jawa masuk Islam adalah ciptaannya (Achmad Chodjim, 2003 : 13).
II.
SEJARAH
Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1455. Beliau
diberi nama Raden Mas Said atau yang bergelar “Sunan Kalijaga” yang merupakan
putra dari Ki Tumenggung Wilatikta yaitu Bupati Tuban. Dan ada pula yang
mengatakan bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sahur Tumenggung
Wilatikta. Selain mempunyai anak Sunan Kalijaga, beliau juga mempunyai putri
yang bernama Dewi Roso Wulan.
Saat Sunan Kalijaga masih kecil, beliau sudah
merasakan dan melihat lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan
rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada ayahnya
mengenai hal tersebut, yang dijawab oleh ayahnya bahwa itu adalah untuk
kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi
pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri
untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada rakyat
yang membutuhkan. Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 kali
ditangannya dan disekap beberapa hari oleh ayahnya, yang kemudian ia pergi
tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat
jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia di usir oleh ayahnya dari
Kadipaten. Akhirnya ia pun pergi, tinggal di hutan Jadiwangi dan menjadi
perampok orang-orang kaya dan berjuluk Brandal Lokajaya. Selain gelar tersebut
sebenarnya Sunan Kalijaga juga mempunyai nama-nama lain seperti R. Abdurrahman,
Syeh Malaya, Pangeran Tuban serta Jogoboyo.
Pada suatu hari di dalam hutan Jadiwangi itu
Sunan Bonang sedang lewat, kemudian ia dihadang dan hendak dirampok. Sunan
Bonang berkata pada Sunan Kalijaga, “kelak, kalau ada orang lewat disini,
memakai pakaian serba hitam, serta berselendang bunga wora-wari merah, ini
sebaiknya rampoklah”. Raden Said menuruti, Sunan Bonang dibebaskan. Kira-kira
tiga hari kemudian orang yang ditunggu-tunggu lewat di tempat itu. Raden Said
siap menghadang orang itu. Pakaiannya serba hitam, berselendang bunga wora-wari
merah. Setelah dihentikan oleh Raden Said, Sunan Bonang berubah menjadi empat.
Raden Said ketakutan melihat kejadian itu dan berjanji pada Sunan Bonang untuk
mengakhiri perbuatan nistanya itu. Kemudian ia bertapa dua tahun, karena beliau
taat pada Sunan Bonang. Setelah bertapa Raden Said pindah ke Cirebon. Disitu
beliau bertapa lagi di pinggir kali, bernama Kalijaga. Dari sinilah sejarahnya
kenapa beliau bergelar “Sunan Kalijaga”. Lama kelamaan kemudian beliau diambil
ipar oleh Sunan Gunung Jati.
Beliau
menikah dengan dewi Sarokah dan mempunyai 5 (lima) anak, yaitu:
1. Kanjeng
Ratu Pembayun yang menjadi istri Raden Trenggono (Demak)
2. Nyai
Ageng Penenggak yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar
3. Sunan
Hadi (yang menjadi panembahan kali) menggantikan Sunan Kaijaga sebagai kepala
Perdikan Kadilangu.
4. Raden
Abdurrahman
5. Nyai
Ageng Ngerang.
Dalam suatu cerita dikatakan bahwa Sunan
Kalijaga pernah juga menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak, Sunan
Kalijaga mempunyai tiga orang putra, masing-masing ialah:
1. Raden
Umar Said (Sunan Muria)
2. Dewi
Ruqoyah
3. Dewi
Sofiyah
Nama Kalijaga menurut setengah riwayat,
dikatakan berasal dari rangkaian bahasa Arab “Qadli Zaka”, Qadli artinya
pelaksana, penghulu: sedangkan Zaka artinya membersihkan. Jadi Qadlizaka atau
yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga
itu artinya adalah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan
(kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai
lebih dari 100 tahun. Dengan demikian, ia mengalami masa akhir kekuasaan
Majapahit (berakhir 1479), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten,
bahkan juga kerajaan panjang yang lahir pada 1541 serta awal kehadiran kerajaan
Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.
III.
Metode pendidikan
Diantara para Wali Sembilan, beliau terkenal
sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga
dan filosofi. daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah
terhitung seorang mubaligh keliling (reizendle mubaligh). jikalau beliau
bertabligh, senantiasa diikuti oleh pada kaum ningrat dan sarjana . Kaum
bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. karena caranya beliau
menyiarkan agama islam yang disesuaikan dengan aliran jaman, Sunan Kalijaga
adalah adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan
berpandangan jauh serta berperasaan dalam. Semasa hidupnya, sunan kalijaga
terhitung seorang wali yang ternama serta disegani beliau terkenal sebagai
seorang pujangga yang berinisiatif mengaran cerita-cerita wayang yang
disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan, dalam cerita-cerita
wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an,. hal ini
dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal
kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha,
ataupun dengan kata lain, masyarakat masih memagang teguh tradisi-tradisi atau
adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka kepada pertunjukan
wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab
inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh untuk
memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat
lama dengan ajaran-ajaran Islam assimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana
adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengambangkan
Agama Islam di sini. Sunan Kalijaga, namanya hingga kini masih tetap harum
serta dikenang oleh seluruh lapisan masyrakat dari yang atas sampai yang bawah.
hal ini adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu benar-benar manusia
besar jiwanya, dan besar pula jasanya. sebagai pujangga, telah banyak mengarang
berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni lukis yang
bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid. disamping itu pula beliau
berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan wayang kulit yang ada sekarang
ini.
Sunan Kalijaga adalah pengarang dari kitab-kitab cerita-cerita wayang yang
dramatis serta diberi jiwa agama, banyak cerita-cerita yang dibuatnya yang
isinya menggambarkan ethik ke-Islam-an, kesusilaan dalam hidup sepanjang
tuntunan dan ajaran Islam , hanya diselipkan ke dalam cerita kewayangan. oleh
karena Sunan Kalijaga mengetahui, bahwa pada waktu itu keadaan masyarakat
menghendaki yang sedemikian, maka taktik perjuangan beliaupun disesuaikannya
pula dengan keadaan ruang dan waktu. Berhubung pada waktu itu sedikit para
pemeluk agama syiwa budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan
berbahaya sekali kiranya apabila dalam memperkembangkan agama islam selanjutnya
tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana. para wali termasuk didalamnya Sunan
Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali
kepada kesenian dan kebudayaan mereka, diantaranya masih gemar kepada gemalan
dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha .
Maka setelah diadakan permusyawaratan para
wali, dapat diketemukan suatu cara yang lebih supel, dengan maksud untuk
meng-Islam-kan orang-orang yang belum masuk Islam. cara itu diketemukan oleh
Sunan Kalijaga, salah seorang yang terkenal berjiwa besar, dan berpandangan
jauh,berfikiran tajam, serta berasal dari suku jawa asli. disamping itu beliau
juga ahli seni dan faham pula akan gamelan serta gending-gending
(lagu-lagunya). Maka dipesanlah oleh Sunan Kalijaga kepada ahli gamelan untuk
membuatkan serancak gamelan, yang kemudian diberinya nama kyai sekati. hal itu
adalah dimaksudkan untuk memperkembangkan Agama Islam.
Menurut adat kebiasaan pada setiap tahun,
sesudan konperensi besar para wali, diserambi Masjid Demak diadakan perayaan
Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (Bhs. Jawa Terbangan) menurut irama
seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian
disesuaikan dengan alam fikiran masyarakat jawa. maka gamelan yang telah
dipesan itupun ditempatkan diatas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di
depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasai beraneka macam bungan-bungaan yang
indah. gapura mashidpun dihiasinya pula, sehingga banyaklah rakyat yang
tertarik untuk berkunjung ke sana, gamelan itupun kemudian dipukulinya
betalu-talu dengan tiada henti-hentinya. Kemudian dimuka gapura masjid,
tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan
serta nasehat-nasehatnya uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang
sangat menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertaik untuk masuk ke
dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang ditabuh, artinya dibunyikan
itu. dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid, akan tetapi terlebih
dahulu harus mengambil air wudlu di kolas masjid melalui pintu gapura. upacara
yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa
yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui
gapura (dari Bahasa Arab Ghapura) maka berarti bahwa segala dosanya sudah
diampuni oleh Tuhan.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap
kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi
seni drama (wayang kulit) seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir,
seni pahat. dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan
kalijaga (periode demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam. sebagai
gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi
lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. di
dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini jika
dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata : “quu” dan “qilla” atau “quuqiila”,
yang artinya “peliharalah ucapan (mulut)-mu. Hal mana dimaksudkan bahwa kain
pakaian yang bermotif kukila atau burung itu senantiasa memperingatkan atau
mendidik dan mengajar kepada kita, agar selalu baik tutur katanya, inilah
diantaranya jasa sunan kalijaga dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini
dibuatnya model baju kaum pria yang diberinya nama baju “takwo”, nama tersebut
berasal berasal dari kata bahasa arab “taqwa” yang artinya ta’at serta berbakti
kepada Allah SWT.
Nama yang simbolik sifatnya ini, dimaksudkan
untuk mendidik kita agar supaya selalu cara hidup dan kehidupan kita sesuai
dengan tuntunan agama. Nama Kalijaga menurut setengah riwayat , dikatakan
berasal dari rangkaian Bahasa Arab ‘ Qadli Zaka, Qadli – artinya pelaksana,
penghulu : sedangkan Zaka – artinya membersihkan. jadi Qodlizaka atau yang
kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu
artinya ialah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan
kebenaran agama Islam.
Sunan Kalijaga juga membuat syair yang penuh makna dan masih terkenal sampai sekarang. Hampir semua orang pernah mendengar syair tersebut, syair itu berjudul Lir Ilir. Bukan sekedar Syair dolanan .. tapi lagu penuh makna mendalam. Tidak untuk dinikmati syair dan nadanya semata, tapi yang lebih penting adalah untuk direnungkan dan dicontoh penyeruannya. Berikut adalah Syair Lir ilir beserta maknanya.
Lir Ilir
Lir-ilir, lir-ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jrumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo
Terjemahan bahasa Indonesia dari syair diatas kira-kira adalah demikian:
Ayo bangun (dari tidur), tanam-tanaman sudah mulai bersemi,
demikian menghijau terlihat bagaikan pengantin baru
Wahai gembala, ambillah buah blimbing itu,
walaupun licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang telah koyak sisihkanlah
Jahit dan benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung sedang terang bulan, mumpung sedang banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo…
Sunan Kalijaga juga membuat syair yang penuh makna dan masih terkenal sampai sekarang. Hampir semua orang pernah mendengar syair tersebut, syair itu berjudul Lir Ilir. Bukan sekedar Syair dolanan .. tapi lagu penuh makna mendalam. Tidak untuk dinikmati syair dan nadanya semata, tapi yang lebih penting adalah untuk direnungkan dan dicontoh penyeruannya. Berikut adalah Syair Lir ilir beserta maknanya.
Lir Ilir
Lir-ilir, lir-ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jrumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo
Terjemahan bahasa Indonesia dari syair diatas kira-kira adalah demikian:
Ayo bangun (dari tidur), tanam-tanaman sudah mulai bersemi,
demikian menghijau terlihat bagaikan pengantin baru
Wahai gembala, ambillah buah blimbing itu,
walaupun licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang telah koyak sisihkanlah
Jahit dan benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung sedang terang bulan, mumpung sedang banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo…
Hijau adalah warna perlambang agama Islam yang saat itu kemunculannya bagaikan pengantin baru dan sangat menarik hati. Hijau juga berarti pertumbuhan dan kemudaan. Syair di atas tidak menuliskan: “Wahai Raja”, "Ulama, Ulama", "Pak Jendral, Pak Jendral", "Intelektual, Intelektual" atau apapun lainnya, melainkan "Bocah Angon, Bocah Angon...". Ini menunjukkan bahwa syair ini ditujukan juga bagi wong cilik, orang kebanyakan. Karena sesungguhnya orang kebanyakan pun mempunyai tanggungjawab atau amanah sendiri-sendiri. Kullukum roin wa kullukum mas’ulum ‘an roiyatih. Ro’in sendiri dalam bahasa arab biasa diartikan sebagai gembala. Masa kecil Rasullah juga seorang gembala. Orang kecil yang mempunyai amanah yang membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Harus dipanjat dengan hati-hati untuk memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan dan diperebutkan. Ini menjaga kelangsungan dari berkah sang pohon blimbing agar tetap bisa memberikan buahnya di masa yang akan datang. Air perasan blimbing jaman dahulu biasa digunakan ibu-ibu untuk mencuci pakaian yang kotornya berlebihan. Karena mengandung sifat asam kuat maka baju yang dicuci dengan air blimbing dapat menjadi bersih kembali seperti baru .
Dodot adalah jenis pakaian tradisional Jawa
yang sering dipakai pembesar jaman dulu. Bagi masyarakat Jawa, agama adalah
ibarat pakaian, maka dodot dipakai sebagai lambang agama atau kepercayaan.
Pakaian juga berarti perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan jiwa adalah perhiasan
takwa. (fa ta zawwaduu fa inna khoiro zaadi taqwa). Pakaian adalah akhlak,
pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Pakaian adalah rasa malu, harga
diri, kepribadian, tanggung jawab. Pakaianmu, (yaitu) agamamu atau akhlakmu
sudah rusak maka jahitlah (perbaiki). Rusak di pinggir-pinggir artinya bukan
rusak total tetapi kurang sempurna. Jadi syair ini menuntun kita untuk
menyempurnakan agama dengan keimanan dan ketakwaan yang sempurna pula. Udkhuluu
fi silmi kaaffah. Jika engkau melanggar atau mengkhianati amanat, tugas dan
fungsimu, maka sesungguhnya engkau sedang menelanjangi dirimu sendiri.
Menghinakan diri sendiri. Pakaian yang robek-robek ini perlu diperbaiki sebagai
bekal menghadap Robbmu yang Maha sempurna. Maka dondomono, jlumatono, jahitlah
robekan-robekan itu, utuhkan kembali, tegakkan harkat yang selama
compang-camping oleh maksiat yang masih dilakukan. Selagi ada cahaya terang
yang menuntunmu, selagi masih hidup dan masih ada kesempatan bertobat.
Bersemangat dan optimislah. Selagi hidayah Allah masih bisa diraih.
Bergembiralah, semoga kalian mendapat anugerah dari Alloh .
DAFTAR PUSTAKA
Soekirno, Ade. 1997.” Sunan
Kalijogo”. Grasindo: Jakarta.
Saksono, Widji. 1994. “Mengislamkan
Tanah Jawa (Telaah atas Metode Dakwah WaliSongo)”. MIZAN: Yogyakarta.
Haidar Putera Daulay, Pemberdayaan Pendidikanislam di Indonesia,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009).
[1][1] Haidar Putera Daulay, Pemberdayaan Pendidikanislam di Indonesia,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.6.