AF’ALU AL-‘IBAD MENURUT ALIRAN
MU’TAZILAH, ASY’ARIYYAH, MATURIDIYYAH DAN SALAF
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah :
Ilmu Tauhid
Dosen
Pengampu: Bpk. Masdi
Disusun Oleh:
M. Abdurochman
Luthfi (1410210029)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH (PBA-A)
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masalah Af’al Al’ibad (perbuatan manusia)
bermula dari pembahasan sederhana, yang kemudian diperdebatkan oleh beberapa
aliran-aliran. Menurut sejarah, masalah keagamaan yang yang pertama-tama
diperdebatkan, sehingga mendorong lahirnya berbagai aliran-aliran dalam islam
yang dilatarbelakangi oleh faktor politik pada awal pertumbuhan islam
sepeninggal Rasulullah SAW. Seperti halnya perdebatan tentang manusia itu bebas
berkehendak ataukah ada yang mengaturnya, yang merupakan salah satu dari
permasalahan yang diperdebatkan oleh aliran-aliran ilmu kalam. Dari
permasalahan tersebut kemudian lahirlah berbagai aliran-aliran dengan pandangan
yang berbeda,dengan penggunaan dalil serta penafsiran yang berbeda-beda.
Af’al al-ibad juga merupakan permasalahan
polemis dikalangan umat Islam, terutama menyangkut hubungannya dengan perbuatan
Tuhan, apakah manusia melakukan perbuatannya sendiri atau tidak? pertanyaan
–pertanyaan seperti inilah yang menjadi pembahasan para ulama kalam.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Mu’tazilah ?
2. Bagaimana
Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Asy’ariyyah ?
3. Bagaimana
Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Maturidiyyah ?
4. Bagaimana
Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Salaf ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Af’alu
al-‘Ibad Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran
mu’tazilah muncul setelah pendirinya Washil bin Atha’ berbeda pendapat dengan
gurunya Hasan al-Basri dalam mempersoalkan masalah dosa besar, karena
menurutnya terdapat posisi fasiq antara mukmin dan kafir. Selain ajaran di atas
Washil juga berpaham Qadariah, yang menyatakan bahwa manusia punya pilihan dan
kebebasan dalam perbuatannya sekalipun kebebasan perbuatan manusia itu
ditentukan oleh keterbatasan manusia itu sendiri. Tuhan bersifat adil dan
bijaksana, sehingga tidak mungkin berlaku jahat terhadap hambanya, juga tidak
menginginkan hambanya menyalahi apa yang diperintahkannya. Tuhan mewajibkan
sesuatu kepada hambanya lalu membalasnya dengan pahala, tidak mungkin Tuhan
memerintahkan sesuatu kalau manusia tidak mempunyai daya untuk melakukannya.
Logika inilah yang digunakan oleh Washil, sehingga menurutnya manusialah yang
mewujudkan perbuatannya, apakah perbuatan itu baik atau buruk, beriman atau
kafir. Untuk itu Tuhan memberi daya kepada manusia untuk menentukan langkah
perjalanannya, selanjutnya Tuhan akan membalasnya sesuai dengan apa yang
diperbuat oleh manusia.
Jika, perbuatan manusia bukanlah
diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan
perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk
manusia, atau berasal dari manusia sendiri? Mu'tazilah dengan tegas mengatakan
bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya
perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Tuhan
memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan dayanya. Aliran
Mu'tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya
yang menentukan?
Kaum
mu’tazilah juga berpendirian bahwa Tuhan itu tidak menyukai kerusakan, tidak
menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusia melaksanakan segala kewajiban dan
larangan dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Tuhan tidak menugaskan
sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh manusia, tidak menghendaki sesuatu yang
tidak kuasa dilaksanakan oleh manusia.
Abu
Huzail seorang tokoh mu’tazilah kelihatannya lebih memerankan otoritas akal
manusia, sehingga menurutnya akal manusia mampu membimbing manusia sendiri
untuk membedakan perbuatan yang baik dengan yang buruk. Manusia dituntut oleh
akalnya untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang tidak baik. Oleh
sebab itu, manusia wajib berbuat baik dan dan menjauhi perbuatan jahat.
Al-Juba’i mengatakan bahwa sebelum manusia melakukan perbuatannya, manusia itu
telah memiliki daya untuk mewujudkan perbuatannya, apakah manusia itu beriman
atau ingkar.
Gambaran dari pemikiran
ketiga tokoh mu’tazilah di atas menunjukkan bahwa Tuhan punya kekuasaan dan
keadilan, sementara manusia mempunyai daya akal. Dengan potensi daya akal yang
diciptakan Tuhan tersebut manusia diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan
jalan hidupnya. Dengan akal manusia mampu mempertimbangkan akibat dari
perbuatannya, apakah perbuatan yang dilakukannya berakibat baik atau sebaliknya
akan membawa bencana. Walaupun manusia dianggap sebagai penentu bagi
perbuatannya sendiri dengan daya yang ada padanya, namun Tuhan wajib untuk
memberi balasan terhadap perbuatan manusia tersebut.
Disini jelas bahwa
kekuatan untuk mewujudkan perbuatan berada pada manusia, sehingga pertimbangan
keputusan bagi kehendaknya berada pada dirinya. Hal ini diperkuat oleh Abdul
Jabbar yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mewujudkan perbuatan manusia, tetapi
manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya sendiri melalui daya yang
diberikan Tuhan kepadanya. Daya inilah yang melahirkan perbuatan manusia dan
perbuatan manusia yang sebenarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri bukan
perbuatan Tuhan.
B. Af’alu
al-‘Ibad Menurut Aliran Asy’ariyyah
Dalam faham Asy'ari
manusia di tempatkan pada posisi yang lemah. Ia di ibaratkan anak kecil yang
tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karana itu, aliran ini lebih dekat
dengan paham jabariah yang berarti bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak dan tidak ada ikhtiar. Manusia tak lain di
ibaratkan seperti wayang yang melakoni apa yang diinginkan oleh dalangnya.
Manusia berada dalam lingkaran kekuasaan mutlak Tuhan, setiap gerakan manudia
digerakkan oleh Tuhan. Karena setiap perbuatan manusia harus kembali kepada
ketentuan Tuhan.
Bagi Asy’ary sebagai
tokoh Asy’ariyah yang berpaham jabariyah mengatakan bahwa perbuatan manusia
semata-mata kehendak Tuhan. Seperti dalam Firman Allah dalam QS. As-Shaffat: 96
berikut.
Artinya: “dan
Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu kerjakan”. (QS. Ash-Shaffat:
96)
Jadi, disini jelas
bahwa manusia hanya menuruti apa yang dikehendaki oleh Tuhan, dan manusia tidak
pernah menciptakan perbuatannya sendiri tanpa kehendak dari Tuhan.
Seperti halnya
mu’tazilah, golongan ini juga mengakui adanya daya. Daya diciptakan untuk
membedakan antara kekuatan ikhtiar manusia itu sendiri dan kehendak Tuhan.
Selanjutnya ditemukan juga istilah kasb atau perolehan yang menyatakan
bahwa yang melakukan perbuatan pada hakekatnya adalah Tuhan, namun dilambangkan
dalam bentuk perbuatan manusia, pencipta sebenarnya adalah Tuhan, sedangkan
manusia adalah pencipta bagi aktivitasnya sendiri yang disebut muktasib.
Konsep kasb ini sangat rumit, sehingga sulit untuk dipahami. Di satu
sisi manusia dipaksa untuk melaksanakan kewajiban melalui ikhtiarnya, tetapi
disisi lain manusia itu tidak memiliki kebebasan untuk menentukan ikhtiarnya
sendiri. Daya manusia adalah daya Tuhan, sehingga ketidakberdayaan manusia
menuntut kepasrahan dan tawakal. Al-Ghazali juga mengatakan bahwa perbuatan
manusia ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Walaupun Tuhan menciptakan
daya, tetapi manusia berbuat bukan karena dayanya sendiri melainkan daya Tuhan.
Sedang menurut Baqillani, Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi
Tuhan hanya menciptakan gerak yang selanjutnya potensi tersebut dimanfaatkan
oleh manusia sesuai dengan kehendaknya. Begitu juga al-Juwaini cenderung kepada
adanya causalitas antara wujud perbuatan dengan daya serta wujud daya dengan
kehendak Tuhan.
C. Af’alu
al-‘Ibad Menurut Aliran Maturidiyyah
Ada perbedaan antara
Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Maturidiyah Samarkand
yang dipe;opori oleh Abu Mansur Al-Maturidi cenderung lebih dekat kepada
pemikiran mu’tazilah yang berpaham Qodariyah agak rasional dibandingkan dengan
Maturidiyah Bukhara yang diwakili oleh Al-Bazdawi yang lebih dekat dengan pemikiran
asy’ariyah yang berpaham Jabariyah. Maturidiyah Samarkand dengan tokohnya
Al-Maturidi cenderung mendukung Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak
berkuasa mutlak dalam menentukan perbuatan manusia. Namun kebebasan manusia
yang dimaksud bukan seperti kebebasan yang didefinisikan dalam paham Qodariyah.
Kebebasan menurut Al-Maturidi lebih sempit dibandingkan pemahaman Mu’tazilah
yang notebene berpaham Qodariyah.
Menurut Al-Maturidi kehendak bukanlah kehendak bebas
manusia, tetapi kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan bukan perbuatan Tuhan
tetapi perbuatan manusia yang sebenarnya. Tuhan menciptakan perbuatan baik dan
jahat, Tuhan memberi kelapangan dan kesempitan, Tuhan menunjukkan jalan yang
sesat juga member petunjuk kepada hamba-Nya. Untuk itu, Tuhan memberikan daya
kepada manusia agar manusia mampu menerobos kehendak Tuhan. Diciptakannya daya
untuk memilih dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Memilih dan
membedakan inilah perbuatan manusia yang sebenarnya, sehingga pemberian hukuman
dan balasan tergantung dengan penggunaan daya yang diciptakan-nya, karena Tuhan
telah berjanji untuk meminta pertanggungjawaban manusia atas perbuatan baik dan
kejahatannya.
Maturidiyah Bukhara yang ditokohi oleh Al-Badawi
memiliki pemahaman yang sama dengan Al-Maturidi yang mengatakan bahwa perbuatan
manusia adalah ciptaan Tuhan. Bahkan Bazdawi lebih memprioritaskan kemutlakan
Tuhan. Dalam hal ini dikatakan terdapat dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan
perbuatan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan manusia menggunakan perbuatan
yang diciptakan tersebut adalah perbuatan manusia. Menurutnya perbuatan
tersebut adalah perbuatan manusia yang bersifat majazi, artinya perbuatan
manusia yang tetap dibayangi oleh kehendak Tuhan, karena Tuhan telah menetapkan aturan dan acuan
bagi perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh, Tuhan menciptakan perbuatan
berjalan, melaksanakan perbuatan berjalan tersebut adalah perbuatan manusia.
Jadi segala perbuatan manusia merupakan wujud atas kehendak Tuhan, baik atau
jahat. Namun perbuatan baik digolongkan kepada perbuatan yang diridhoi Tuhan,
sementara perbuatan jahat bukan atas keridhoan Tuhan, jika manusia melakukan
berarti menentang kerelaan Tuhan.
Dengan
menentang kerelaan Tuhan berate manusia tersebut wajar menerima hukuman dari
Tuhan atas ketidakrelaan-Nya, kendatipun yang menciptakan perbuatan jahat
tersebut adalah Tuhan, tetapi Tuhan tidak rela dengan wujud kejahatan tersebut.
Oleh sebab itu, Tuhan berhak menyiksanya, dan disinilah letak kekuasaan dan
kemaha besaran Tuhan. Jadi secara konsepsional aliran maturidiyah berkonsep
bahwa kemampuan manusia menggunakan daya merupakan kehendak manusia,
menciptakan daya perbuatan Tuhan.
D. Af’alu
al-‘Ibad Menurut Aliran Salaf
Ibn
Taimiyyah sebagai tokoh aliran salaf kelihatannya berpendapat bahwa perbuatan
manusia dihubungkan kepada manusia itu sendiri karena ia memiliki potensi, dan
dihubungkan kepada Tuhan dengan anggapan bahwa Tuhan yang menciptakan potensi
itu. Jadi, Tuhan adalah causa prima. Berkenaan dengan hal ini Ibn
Taimiyyah mengatakan “Sesungguhnya Allah adalah Pencipta segala sesuatu dengan
berbagai sebab yang diciptakan-Nya. Allah menciptakan hamba dan menciptakan
pula potensi yng menjadi sebab perbuatannya. Hamba adalah pelaku perbuatannya
sendiri yang sebenarnya. Jadi, pendapat golongan Ahlusunnah tentang penciptaan
perbuatan berdasarkan kehendak dan kekuasaan Allah adalah sama dengan pendapat
mereka tentang penciptaan segala yang baru dengan sebab-sebabnya.”
Perbuatan manusia disandarkan kepada Tuhan
dilihat dari segi Tuhan adalah pencipta sebab perbuatan itu, yakni kemampuan
manusia yang ada pada dirinya. Menurut Ibn Taimiyyah, antara perintah dan
kehendak Tuhan tidak ada keterkaitan. Tuhan menghendaki ketaatan dan
memerintahkannya. Tuhan tidak menghendaki kemaksiatan yang dikerjakan oleh
manusia dan melarangnya.
Ibn
Taimiyyah membedakan antara Ridho, suka dan kehendak. Kehendak Tuhan
kadang-kadang terjadi pada sesuatu yang bertentangan dengan perintah dan
larangan-Nya. Akan tetapi suka dan Ridho-Nya merupakan hal yang sejalan dengan
perintah dan larangan-Nya. Tuhan tidak menyukai maksiat dan tidak meridhoinya,
tetapi Tuhan menghendakinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut aliran mu’tazilah, manusialah yang
mewujudkan perbuatannya, apakah perbuatan itu baik atau buruk, beriman atau
kafir. Dan Tuhan memberi daya kepada manusia untuk menentukan langkah
perjalanannya. Daya inilah yang melahirkan perbuatan manusia dan
perbuatan manusia yang sebenarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri bukan
perbuatan Tuhan. Selanjutnya
Tuhan akan membalasnya sesuai dengan apa yang diperbuat oleh manusia.
Aliran Asy’ariyyah mengatakan
bahwa perbuatan manusia semata-mata kehendak Tuhan. Aliran ini juga menyatakan
bahwa yang melakukan perbuatan pada hakekatnya adalah Tuhan, namun dilambangkan
dalam bentuk perbuatan manusia, pencipta sebenarnya adalah Tuhan, sedangkan
manusia adalah pencipta bagi aktivitasnya sendiri.
Al-Maturidi (tokoh Maturidiyyah Samarkand) berpendapat bahwa kehendak bukanlah kehendak bebas manusia, tetapi kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan bukan perbuatan Tuhan tetapi perbuatan manusia yang sebenarnya. Tidak berbeda jauh dengan Maturidiyyah Bukhara yang ditokohi oleh Al-Badawi Mengatakan bahwa terdapat dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan manusia, dan manusia yang mengerjakan perbuatan yang diciptakan tersebut.
Ibn Taimiyyah sebagai tokoh aliran salaf
berpendapat bahwa perbuatan manusia dihubungkan kepada manusia itu sendiri
karena ia memiliki potensi, dan dihubungkan kepada Tuhan dengan anggapan bahwa
Tuhan yang menciptakan potensi itu.
DAFTAR PUSTAKA
Abu,
Muhammad Zahrah. 1996. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Jakarta:
Logos Publishing House
Hanafi. 1992. Theology Islam. Jakarta:
Pustaka Al-Husna
Mufid, Fathul. 2009. Ilmu Tauhid/Kalam.
Kudus: STAIN Kudus
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islami. Jakarta:
UI-Press
Syihab.
2004. Akidah Ahlus Sunnah. Jakarta: PT. Bumi Aksara
0 comments:
Post a Comment