lagu

ikut

Monday, December 28, 2015

Af'alul Ibaad



AF’ALU AL-‘IBAD MENURUT ALIRAN MU’TAZILAH, ASY’ARIYYAH, MATURIDIYYAH DAN SALAF



Makalah

Disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah : Ilmu Tauhid

Dosen Pengampu: Bpk. Masdi






 
















Disusun Oleh:



M. Abdurochman Luthfi               (1410210029)









SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

JURUSAN TARBIYAH (PBA-A)

2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Masalah Af’al Al’ibad (perbuatan manusia) bermula dari pembahasan sederhana, yang kemudian diperdebatkan oleh beberapa aliran-aliran. Menurut sejarah, masalah keagamaan yang yang pertama-tama diperdebatkan, sehingga mendorong lahirnya berbagai aliran-aliran dalam islam yang dilatarbelakangi oleh faktor politik pada awal pertumbuhan islam sepeninggal Rasulullah SAW. Seperti halnya perdebatan tentang manusia itu bebas berkehendak ataukah ada yang mengaturnya, yang merupakan salah satu dari permasalahan yang diperdebatkan oleh aliran-aliran ilmu kalam. Dari permasalahan tersebut kemudian lahirlah berbagai aliran-aliran dengan pandangan yang berbeda,dengan penggunaan dalil serta penafsiran yang berbeda-beda.
Af’al al-ibad juga merupakan permasalahan polemis dikalangan umat Islam, terutama menyangkut hubungannya dengan perbuatan Tuhan, apakah manusia melakukan perbuatannya sendiri atau tidak? pertanyaan –pertanyaan seperti inilah yang menjadi pembahasan para ulama kalam.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Mu’tazilah ?
2.    Bagaimana Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Asy’ariyyah ?
3.    Bagaimana Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Maturidiyyah ?
4.    Bagaimana Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Salaf ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah muncul setelah pendirinya Washil bin Atha’ berbeda pendapat dengan gurunya Hasan al-Basri dalam mempersoalkan masalah dosa besar, karena menurutnya terdapat posisi fasiq antara mukmin dan kafir. Selain ajaran di atas Washil juga berpaham Qadariah, yang menyatakan bahwa manusia punya pilihan dan kebebasan dalam perbuatannya sekalipun kebebasan perbuatan manusia itu ditentukan oleh keterbatasan manusia itu sendiri. Tuhan bersifat adil dan bijaksana, sehingga tidak mungkin berlaku jahat terhadap hambanya, juga tidak menginginkan hambanya menyalahi apa yang diperintahkannya. Tuhan mewajibkan sesuatu kepada hambanya lalu membalasnya dengan pahala, tidak mungkin Tuhan memerintahkan sesuatu kalau manusia tidak mempunyai daya untuk melakukannya. Logika inilah yang digunakan oleh Washil, sehingga menurutnya manusialah yang mewujudkan perbuatannya, apakah perbuatan itu baik atau buruk, beriman atau kafir. Untuk itu Tuhan memberi daya kepada manusia untuk menentukan langkah perjalanannya, selanjutnya Tuhan akan membalasnya sesuai dengan apa yang diperbuat oleh manusia.
Jika, perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau berasal dari manusia sendiri? Mu'tazilah dengan tegas mengatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan dayanya. Aliran Mu'tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?
Kaum mu’tazilah juga berpendirian bahwa Tuhan itu tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusia melaksanakan segala kewajiban dan larangan dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Tuhan tidak menugaskan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh manusia, tidak menghendaki sesuatu yang tidak kuasa dilaksanakan oleh manusia.
Abu Huzail seorang tokoh mu’tazilah kelihatannya lebih memerankan otoritas akal manusia, sehingga menurutnya akal manusia mampu membimbing manusia sendiri untuk membedakan perbuatan yang baik dengan yang buruk. Manusia dituntut oleh akalnya untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang tidak baik. Oleh sebab itu, manusia wajib berbuat baik dan dan menjauhi perbuatan jahat. Al-Juba’i mengatakan bahwa sebelum manusia melakukan perbuatannya, manusia itu telah memiliki daya untuk mewujudkan perbuatannya, apakah manusia itu beriman atau ingkar.
Gambaran dari pemikiran ketiga tokoh mu’tazilah di atas menunjukkan bahwa Tuhan punya kekuasaan dan keadilan, sementara manusia mempunyai daya akal. Dengan potensi daya akal yang diciptakan Tuhan tersebut manusia diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya. Dengan akal manusia mampu mempertimbangkan akibat dari perbuatannya, apakah perbuatan yang dilakukannya berakibat baik atau sebaliknya akan membawa bencana. Walaupun manusia dianggap sebagai penentu bagi perbuatannya sendiri dengan daya yang ada padanya, namun Tuhan wajib untuk memberi balasan terhadap perbuatan manusia tersebut.
Disini jelas bahwa kekuatan untuk mewujudkan perbuatan berada pada manusia, sehingga pertimbangan keputusan bagi kehendaknya berada pada dirinya. Hal ini diperkuat oleh Abdul Jabbar yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mewujudkan perbuatan manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya sendiri melalui daya yang diberikan Tuhan kepadanya. Daya inilah yang melahirkan perbuatan manusia dan perbuatan manusia yang sebenarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri bukan perbuatan Tuhan.

B.       Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Asy’ariyyah
Dalam faham Asy'ari manusia di tempatkan pada posisi yang lemah. Ia di ibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karana itu, aliran ini lebih dekat dengan paham jabariah yang berarti bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak dan tidak ada ikhtiar. Manusia tak lain di ibaratkan seperti wayang yang melakoni apa yang diinginkan oleh dalangnya. Manusia berada dalam lingkaran kekuasaan mutlak Tuhan, setiap gerakan manudia digerakkan oleh Tuhan. Karena setiap perbuatan manusia harus kembali kepada ketentuan Tuhan.
Bagi Asy’ary sebagai tokoh Asy’ariyah yang berpaham jabariyah mengatakan bahwa perbuatan manusia semata-mata kehendak Tuhan. Seperti dalam Firman Allah dalam QS. As-Shaffat: 96 berikut.
Artinya: “dan Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu kerjakan”. (QS. Ash-Shaffat: 96)

Jadi, disini jelas bahwa manusia hanya menuruti apa yang dikehendaki oleh Tuhan, dan manusia tidak pernah menciptakan perbuatannya sendiri tanpa kehendak dari Tuhan.
Seperti halnya mu’tazilah, golongan ini juga mengakui adanya daya. Daya diciptakan untuk membedakan antara kekuatan ikhtiar manusia itu sendiri dan kehendak Tuhan. Selanjutnya ditemukan juga istilah kasb atau perolehan yang menyatakan bahwa yang melakukan perbuatan pada hakekatnya adalah Tuhan, namun dilambangkan dalam bentuk perbuatan manusia, pencipta sebenarnya adalah Tuhan, sedangkan manusia adalah pencipta bagi aktivitasnya sendiri yang disebut muktasib. Konsep kasb ini sangat rumit, sehingga sulit untuk dipahami. Di satu sisi manusia dipaksa untuk melaksanakan kewajiban melalui ikhtiarnya, tetapi disisi lain manusia itu tidak memiliki kebebasan untuk menentukan ikhtiarnya sendiri. Daya manusia adalah daya Tuhan, sehingga ketidakberdayaan manusia menuntut kepasrahan dan tawakal. Al-Ghazali juga mengatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Walaupun Tuhan menciptakan daya, tetapi manusia berbuat bukan karena dayanya sendiri melainkan daya Tuhan. Sedang menurut Baqillani, Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi Tuhan hanya menciptakan gerak yang selanjutnya potensi tersebut dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kehendaknya. Begitu juga al-Juwaini cenderung kepada adanya causalitas antara wujud perbuatan dengan daya serta wujud daya dengan kehendak Tuhan.

C.      Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Maturidiyyah
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Maturidiyah Samarkand yang dipe;opori oleh Abu Mansur Al-Maturidi cenderung lebih dekat kepada pemikiran mu’tazilah yang berpaham Qodariyah agak rasional dibandingkan dengan Maturidiyah Bukhara yang diwakili oleh Al-Bazdawi yang lebih dekat dengan pemikiran asy’ariyah yang berpaham Jabariyah. Maturidiyah Samarkand dengan tokohnya Al-Maturidi cenderung mendukung Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa mutlak dalam menentukan perbuatan manusia. Namun kebebasan manusia yang dimaksud bukan seperti kebebasan yang didefinisikan dalam paham Qodariyah. Kebebasan menurut Al-Maturidi lebih sempit dibandingkan pemahaman Mu’tazilah yang notebene berpaham Qodariyah.
Menurut Al-Maturidi kehendak bukanlah kehendak bebas manusia, tetapi kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan bukan perbuatan Tuhan tetapi perbuatan manusia yang sebenarnya. Tuhan menciptakan perbuatan baik dan jahat, Tuhan memberi kelapangan dan kesempitan, Tuhan menunjukkan jalan yang sesat juga member petunjuk kepada hamba-Nya. Untuk itu, Tuhan memberikan daya kepada manusia agar manusia mampu menerobos kehendak Tuhan. Diciptakannya daya untuk memilih dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Memilih dan membedakan inilah perbuatan manusia yang sebenarnya, sehingga pemberian hukuman dan balasan tergantung dengan penggunaan daya yang diciptakan-nya, karena Tuhan telah berjanji untuk meminta pertanggungjawaban manusia atas perbuatan baik dan kejahatannya.
Maturidiyah Bukhara yang ditokohi oleh Al-Badawi memiliki pemahaman yang sama dengan Al-Maturidi yang mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Bahkan Bazdawi lebih memprioritaskan kemutlakan Tuhan. Dalam hal ini dikatakan terdapat dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan manusia menggunakan perbuatan yang diciptakan tersebut adalah perbuatan manusia. Menurutnya perbuatan tersebut adalah perbuatan manusia yang bersifat majazi, artinya perbuatan manusia yang tetap dibayangi oleh kehendak Tuhan,  karena Tuhan telah menetapkan aturan dan acuan bagi perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh, Tuhan menciptakan perbuatan berjalan, melaksanakan perbuatan berjalan tersebut adalah perbuatan manusia. Jadi segala perbuatan manusia merupakan wujud atas kehendak Tuhan, baik atau jahat. Namun perbuatan baik digolongkan kepada perbuatan yang diridhoi Tuhan, sementara perbuatan jahat bukan atas keridhoan Tuhan, jika manusia melakukan berarti menentang kerelaan Tuhan.
    Dengan menentang kerelaan Tuhan berate manusia tersebut wajar menerima hukuman dari Tuhan atas ketidakrelaan-Nya, kendatipun yang menciptakan perbuatan jahat tersebut adalah Tuhan, tetapi Tuhan tidak rela dengan wujud kejahatan tersebut. Oleh sebab itu, Tuhan berhak menyiksanya, dan disinilah letak kekuasaan dan kemaha besaran Tuhan. Jadi secara konsepsional aliran maturidiyah berkonsep bahwa kemampuan manusia menggunakan daya merupakan kehendak manusia, menciptakan daya perbuatan Tuhan.

D.      Af’alu al-‘Ibad Menurut Aliran Salaf
Ibn Taimiyyah sebagai tokoh aliran salaf kelihatannya berpendapat bahwa perbuatan manusia dihubungkan kepada manusia itu sendiri karena ia memiliki potensi, dan dihubungkan kepada Tuhan dengan anggapan bahwa Tuhan yang menciptakan potensi itu. Jadi, Tuhan adalah causa prima. Berkenaan dengan hal ini Ibn Taimiyyah mengatakan “Sesungguhnya Allah adalah Pencipta segala sesuatu dengan berbagai sebab yang diciptakan-Nya. Allah menciptakan hamba dan menciptakan pula potensi yng menjadi sebab perbuatannya. Hamba adalah pelaku perbuatannya sendiri yang sebenarnya. Jadi, pendapat golongan Ahlusunnah tentang penciptaan perbuatan berdasarkan kehendak dan kekuasaan Allah adalah sama dengan pendapat mereka tentang penciptaan segala yang baru dengan sebab-sebabnya.”
 Perbuatan manusia disandarkan kepada Tuhan dilihat dari segi Tuhan adalah pencipta sebab perbuatan itu, yakni kemampuan manusia yang ada pada dirinya. Menurut Ibn Taimiyyah, antara perintah dan kehendak Tuhan tidak ada keterkaitan. Tuhan menghendaki ketaatan dan memerintahkannya. Tuhan tidak menghendaki kemaksiatan yang dikerjakan oleh manusia dan melarangnya.
Ibn Taimiyyah membedakan antara Ridho, suka dan kehendak. Kehendak Tuhan kadang-kadang terjadi pada sesuatu yang bertentangan dengan perintah dan larangan-Nya. Akan tetapi suka dan Ridho-Nya merupakan hal yang sejalan dengan perintah dan larangan-Nya. Tuhan tidak menyukai maksiat dan tidak meridhoinya, tetapi Tuhan menghendakinya.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Menurut aliran mu’tazilah, manusialah yang mewujudkan perbuatannya, apakah perbuatan itu baik atau buruk, beriman atau kafir. Dan Tuhan memberi daya kepada manusia untuk menentukan langkah perjalanannya. Daya inilah yang melahirkan perbuatan manusia dan perbuatan manusia yang sebenarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri bukan perbuatan Tuhan. Selanjutnya Tuhan akan membalasnya sesuai dengan apa yang diperbuat oleh manusia.
Aliran Asy’ariyyah mengatakan bahwa perbuatan manusia semata-mata kehendak Tuhan. Aliran ini juga menyatakan bahwa yang melakukan perbuatan pada hakekatnya adalah Tuhan, namun dilambangkan dalam bentuk perbuatan manusia, pencipta sebenarnya adalah Tuhan, sedangkan manusia adalah pencipta bagi aktivitasnya sendiri.


Al-Maturidi (tokoh Maturidiyyah Samarkand) berpendapat bahwa kehendak bukanlah kehendak bebas manusia, tetapi kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan bukan perbuatan Tuhan tetapi perbuatan manusia yang sebenarnya. Tidak berbeda jauh dengan Maturidiyyah Bukhara yang ditokohi oleh Al-Badawi Mengatakan bahwa terdapat dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan manusia, dan manusia yang mengerjakan perbuatan yang diciptakan tersebut.
Ibn Taimiyyah sebagai tokoh aliran salaf berpendapat bahwa perbuatan manusia dihubungkan kepada manusia itu sendiri karena ia memiliki potensi, dan dihubungkan kepada Tuhan dengan anggapan bahwa Tuhan yang menciptakan potensi itu.

DAFTAR PUSTAKA

Abu, Muhammad Zahrah. 1996. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing House
Hanafi. 1992. Theology Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna
Mufid, Fathul. 2009. Ilmu Tauhid/Kalam. Kudus: STAIN Kudus
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islami. Jakarta: UI-Press
Syihab. 2004. Akidah Ahlus Sunnah. Jakarta: PT. Bumi Aksara

0 comments:

Post a Comment

Keluarga

Keluarga
Jejak Ora Normal

keluarga

keluarga
Je Ow En